Pasalnya, banyak sekali grup-grup besar sawit yang tertera dalam kebijakan itu yang memiliki prinsip keberlanjutan dengan melakukan sistem sertifikasi mandatory (ISPO) maupun voluntary (RSPO), justru teridentifikasi melakukan pengelolaan kebun ilegal di kawasan hutan.
Sementara itu, mengacu hasil pemantauan lapangan Walhi Kalteng tahun 2023 di Kotim dan Seruyan, disinyalir terjadi aktivitas pembangunan kebun yang diduga berada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan dengan total luasan 51.037 hektare.
Selain itu, diketahui aktivitas penanaman sawit di atas kawasan ekosistem gambut dengan total luas sebesar 43.228 hektare, yang terdiri dari aktivitas penanaman sawit pada fungsi lindung dengan total luasan sebesar 17.116 hektare, dan pada fungsi ekosistem gambut budidaya dengan luas total sebesar 26.112 hektare.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herianata mengatakan, upaya penyelesaian kegiatan usaha di kawasan hutan seharusnya dilakukan secara transparan dan partisipatif, sehingga pada proses sampai dengan hasilnya terbuka untuk publik. Apalagi pemerintah resmi merilis perusahaan yang melakukan aktivitas secara ilegal dalam kawasan hutan tersebut.
”Jangan sampai perusahaan yang cacat administratif dan juga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan, malah terampuni dan mendapatkan kesempatan untuk melakukan pemutihan,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalimantan Tengah Siswanto masih enggan berkomentar terkait rilis sejumlah perkebunan yang disebut melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan di Kalteng. ”Mohon maaf, belum bisa komentar,” katanya. (ang/ign)