PALANGKA RAYA – Perjuangan H. Asang Triasha memperoleh keadilan terus berlanjut. Setelah melaporkan kepada Komisi Kejaksaan RI, Kejagung RI, Jamwas RI dan Jampidsus, kemudian H. Asang melapor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Senin (14/3).
H Asang tidak terima atas dugaan kriminalisasi terhadap dirinya. Sebagai pelapor dugaan korupsi dana desa kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Palangka Raya, Asang justru ditetapkan tersangka. Sementara sembilan kades sebagai terlapor dan memiliki kewenangan atas dana desa malah bebas dari jerat hukum.
Didampingi penasihat hukumnya, Sukarlan Fachri Doemas dari kantor advokat “r&partners law firm”, H. Asang Triasha mengadukan secara langsung peristiwa yang menimpanya kepada komnas HAM, Senin lalu. Pengaduan diterima staf komnas HAM Gracia Dumaria.
“Saya tidak terima dengan penetapan tersangka oleh Kejati Palangka Raya, untuk itu kami ajukan Praperadilan, dan saya datang ke Jakarta untuk melaporkan adanya kejanggalan dalam penegakan hukum atau adanya dugaan kriminalisasi kepada Komisi Kejaksaan RI, Kejagung RI, Jamwas RI, Jampidsus RI, Komnas HAM RI, Presiden RI. Di samping itu juga menyampaikan kepada lembaga bantuan seperti hukum seperti IM57+ dan ICW,” ujar Haji Asang Triasha, kepada Radar Sampit, (16/3).
Dalam pengaduannya, H. Asang Triasha membandingkan peristiwa kriminalisasi yang menimpanya dengan kasus Nurhayati di Tangerang. Nurhayati sebagai pelapor korupsi justru ditetapkan sebagai tersangka, yang akhirnya kasus ini dihentikan.
“Besok (Kamis), saya juga akan melaporkan kepada Menkopolhukam, karena apa yang saya alami mirip dengan apa yang dialami oleh Nurhayati karena sama-sama pelapor dugaan korupsi dana desa. Bedanya Ibu Nurhayati bendahara desa, saya bukan perangkat desa. Saya orang yang menerima SPK dari 11 Kades atas pekerjaan pembuatan jalan antardesa. Sembilan desa saya laporkan karena tidak membayar sisa pembayaran, maka kita laporkan dugaan korupsi ke Kejati. Malah saya yang dijadikan tersangka oleh Kejati,” jelas Asang.