SAMPIT – Salah satu muara sengketa yang diprotes keras warga Desa Ramban adalah soal perizinan PT Menteng Jaya Sawit Perdana (MJSP). Pasalnya, hal itulah yang membuat sejumlah warga memanen sawit hingga akhirnya dilaporkan dengan tuduhan pencurian.
”Ketika ditanya izin, katanya masih dalam proses. Harusnya kalau dalam proses tidak diperbolehkan dikerjakan, menanam, dan lain sebagainya. Karena terjadi demikian, dampaknya dilakukan pemanenan, sehingga masyarakat yang kurang pemahaman akhirnya melakukan tindakan tersebut di tengah kondisi kehidupan mereka saat ini,” kata Iwan Arsyad, salah seorang perwakilan warga, dalam RDP yang digelar DPRD Kotim, Rabu (26/1).
Warga lainnya, Jailani, menambahkan, akibat permasalahan izin perusahaan tersebut, pihaknya harus menjadi korban. Anaknya menjadi salah satu pelaku yang dituduh mencuri sawit saat panen.
Kepala Bagian Sumber Daya Alam (SDA) Setda Kotim Rody Kamislan menjelaskan, PT MJSP telah diberikan izin lokasi pada 1 Oktober 2005 seluas 7.400 hektare. Kemudian, pada 1 Agustus 2013 dilakukan pembaharuan dan luasannya berkurang menjadi 5.893 hektare untuk IUPHK HTR.
Dalam perjalanannya, lanjut Rodi, di atas lahan itu terbit IUPHK HTR atas nama Gapoktan Bagendang Raya. Luasannya direvisi untuk izin lokasi usaha perkebunan menjadi 2.834 hektare.
”Karena dalam kawasan hutan, baik itu hutan produksi dan hutan produksi yang dapat dikonversi, pada 23 April 2015 perusahaan dapat izin pelepasan 750,03 hektare. Sementara itu, terhadap sawit yang tertanam harus ada tukar guling sekitar 900,05 hektare. Itu pun sudah dilakukan, sehingga total lahan perkebunan yang mengantongi izin 1.656,74 hektare yang clear dan tinggal menunggu terbit hak guna usaha (HGU),” jelas Rodi.
”Terhadap keterlanjuran itu dapat dispensasi, baik yang sudah punya IUP atau tidak. Ada skema penyelesaiannya,” jelas Rodi, seraya menjamin adanya plasma 20 persen dari PT MJSP dengan luasan 320 hektare dari total luasan IUP.
Terkait pengerahan alat berat untuk pembersihan lahan yang diprotes warga, lanjutnya, merupakan kegiatan penanaman di IUPHK HTR untuk kayu, bukan kelapa sawit. ”Sayangnya waktu itu alatnya tidak ada titik koordinatnya, sehingga tidak bisa dioverlay, apakah benar di lahan Gapoktan atau dalam izin perkebunan perusahaan,” ungkapnya.