Dan, kampung halamannya di NTT, perjuangan sesungguhnya ditempuh. ”Berat. Mulanya banyak penolakan,” ujarnya.
Namun, tekad Mayora sudah bulat. Dia tak mau berpura-pura lagi. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Lewat Fajar Sikka, dia mulai membangun dan memperkenalkan diri. Mulanya, para perempuan takut datang ke rumah kontrakan yang menjadi markas para transpuan. Namun, karena banyak kegiatan seperti memberi bantuan serta mengajari anak-anak berkesenian dan bermain teater, para ibu dan perempuan pun mendekat. ”Dan, ruang inklusif inilah yang membuka mata banyak pihak. Bahwa kami sama dengan manusia lain. Tidak eksklusif,” jelasnya.
Kini, selain terus berfokus di BPD, Mayora bersama rekan-rekannya sedang memperjuangkan rancangan peraturan tentang kota ramah HAM. Kajian akademik sudah dibuat dan kini terus dilakukan pembahasan dengan pemerintah daerah.
Perjuangan melakukan advokasi seraya merangkul kaum papa di kampungnya itu membuat Bunda Mayora kini banyak mendapat tawaran. Termasuk dari partai politik yang mengajaknya bergabung dan dicalonkan sebagai anggota legislatif. Namun, tawaran dari lima partai itu dia tolak. ”Saya masih ingin berkumpul dan berdaya dengan mereka. Mereka kelompok rentan,” katanya. (*/c14/ttg)