Bupati Kotim ”Gugat” Kebijakan Pusat, Protes soal DBH dan Penghapusan Tenaga Kontrak

RAKOR-APKASI-KALTENG
RAKOR: Rapat koordinasi anggota Apkasi wilayah Kalteng di Rujab Bupati Kotim, Kamis (12/5). (YUNI/RADAR SAMPIT)

SAMPIT – Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor ”menggugat” pemerintah pusat mengenai dana bagi hasil (DBH) yang tidak sebanding dari yang disumbangkan daerah sebagai pemilik sumber daya alam (SDA). Protes keras itu dilayangkan dalam forum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) wilayah Kalteng yang digelar virtual, Kamis (12/5).

Protes itu dilayangkan mengingat sumber daya alam, seperti perkebunan, pertambangan, dan lainnya yang menjadi penghasil pajak terbesar untuk negara banyak disumbangkan Kotim. Namun, pengembaliannya ke daerah penghasil melalui transfer DBH dinilai tidak adil.

Bacaan Lainnya

”Dana alokasi umum (DAU) yang dirasakan kami kurang adil kalau dihitung luas wilayah dan jumlah penduduk sebagai syaratnya. Kelemahan kami di Kalteng, jumlah penduduk kami memang kecil, cuma luas wilayahnya 1,5 kali Pulau Jawa. Kalteng akan selalu tertinggal,” kata Halikinnor yang bertindak sebagai koordinator Apkasi wilayah Kalteng.

Baca Juga :  Kotim Bakal Bangun Pabrik Es Tahun Depan

Menurut Halikinnor, dana untuk membangun daerah dengan kondisi geografis luas sangat tidak ideal jika hanya berpatokan DAU dengan jumlah penduduk. Kondisi itu membuat wilayah di Kalteng akan selalu tertinggal dibanding Jawa yang tingkat kepadatan penduduknya sangat tinggi.

Selain itu, Halikin menegaskan posisi ibu kota negara (IKN) sudah ditetapkan di Kalimantan Timur, sehingga Kalteng menjadi daerah penyangga. Daerah penyangga harusnya dibangun secara maksimal.

”Kalau tidak maksimal, nanti saya sebagai formatur wilayah Kalteng akan mengajukan rekomendasi agar keadilan pembangunan di wilayah Kalteng terpenuhi. Hasil dari kami hari ini akan kami sampaikan tertulis dalam forum pertemuan,” kata Halikinnor

Selain soal DBH, isu lain yang akan dibawa terkait penghapusan tenaga kontrak. Kalteng sangat memerlukan tenaga kontrak untuk mendukung pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat.

”Itu salah satunya, karena saat ini sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan pusat, bahwa tenaga kontrak paling lambat 2023 sudah tidak ada lagi. Sementara fakta di lapangan, kebutuhan terhadap tenaga itu masih sangat penting,” kata Halikinnor.



Pos terkait