Caleg Merasa Dieksploitasi karena Orientasi Pemilih Hanya Uang

ilustrasi money politik
ilustrasi politik uang

Lebih lanjut Zam’an mengatakan, dengan biaya politik yang kian tinggi, parpol kemungkinan akan kesulitan mencari sosok caleg yang siap maju. Padahal, parpol sejatinya memiliki kader potensial dan berkualitas, tetapi modalnya tak mencukupi mengikuti pola pikir masyarakat dengan politik uang.

”Di Golkar banyak yang berkualitas, tetapi tidak berani ikut karena melihat sistemnya seperti ini,” katanya.

Bacaan Lainnya

Menurut Zam’an, sistem pemilu perlu dievaluasi dengan cara sistem pemilihan tertutup seperti dulu. Partai mengajukan calon dan menentukan nomor urut partai.

”Melihat kondisi demokrasi yang semakin brutal ini, perlu dipikirkan kembali apakah pemilihan dilakukan secara tertutup seperti dulu, sehingga parpol bisa mencari caleg yang berkualitas dan menyeleksi calegnya. Tidak seperti sekarang, partai seakan dibuat tidak berdaya dengan pemilihan langsung yang terjadi saat ini,” katanya.

Sulit Terdeteksi

Baca Juga :  Bunuh Diri Marak di Katingan, Pemkab Lakukan Riset, Ini Hasilnya

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu Kotim mengaku kesulitan meredam politik uang pada pemilu 14 Februari lalu. Alhasil, pesta demokrasi kali ini menjadi pemilu paling transaksional dibandingkan pemilu sebelumnya.

”Memang tidak mudah untuk meredam politik uang, karena fenomena ini ibarat ada baunya, tapi sulit untuk dideteksi sumbernya,” kata Ketua Bawaslu Kotim Muhammad Natsir.

Natsir mengungkapkan, ada caleg yang sempat menyampaikan perihal tersebut, namun tidak melakukan pelaporan secara resmi. Bawaslu sejatinya selalu bergerak untuk mengindentifikasi politik uang yang terjadi.

”Sulit sekali kalau kita ini tidak tangkap tangan, karena bagaimanapun prosesnya harus ada alat bukti dan saksi yang diajukan,” kata Natsir.

Selain itu, lanjutnya, faktor sumber daya Bawaslu tidak semudah yang dibayangkan, karena konsentrasi mereka tidak hanya satu hal saja, tetapi berbagai hal yang menjadi tugas dan tanggung jawab personel Bawaslu dari tingkat kabupaten sampai desa.

Menurutnya, masifnya politik uang yang terjadi tidak lepas dari pragmatisme di kalangan masyarakat sendiri. Akibatnya, kondisi itu menjadi problema tersendiri dalam ajang konstelasi. (hgn/ang/ign)



Pos terkait