IHSG Jemblok Lagi, Pengamat: Masih Ada Risiko Pelemahan Lanjutan

ihsg jeblok
Pengunjung mengamati layar digital yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/4/2025). PT Bursa Efek Indonesia (BEI) membekukan sementara perdagangan (trading halt) sistem perdagangan pada pukul 09.00 waktu Jakarta Automated Trading System (JATS), setelah penurunan IHSG yang melebihi delapan persen. ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/nz

JAKARTA, radarsampit.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Rabu pagi, dibuka melemah 17,70 poin atau 0,30 persen ke posisi 5.978,44.

Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 1,00 poin atau 0,15 persen ke posisi 666,77.

Sebelumnya pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id Hendra Wardana memproyeksikan masih ada risiko pelemahan lanjutan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam jangka pendek.

“Dari sisi teknikal, IHSG kini berada di area support 5.945 sampai 6.045, dengan level krusial selanjutnya di 5.500 sampai 5.636. Artinya, secara jangka pendek, masih ada risiko pelemahan lanjutan,” ujar Hendra saat dihubungi Antara di Jakarta, Rabu.

Di sisi lain, tetap terbuka kemungkinan IHSG mengalami technical rebound apabila ada sinyal positif dari pemerintah Indonesia terkait negosiasi dalam menanggapi kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

“Namun, kemungkinan technical rebound tetap terbuka, terutama jika ada sinyal diplomasi tegas dari Presiden Prabowo Subianto dalam menanggapi kebijakan tarif Trump,” ujar Hendra.

Baca Juga :  Perkuat Pelayanan Jelang HPN 2024, PLN Gelar Upskilling Petugas Frontliner di Kalselteng

Ia memastikan pasar modal Indonesia masih memiliki daya tarik tinggi yang ditopang oleh fundamental ekonomi domestik dan kinerja perusahaan tercatat (emiten) yang masih solid.

Ia menjelaskan pelemahan yang terjadi pada IHSG lebih disebabkan oleh sentimen eksternal, utamanya adanya kekhawatiran pelaku pasar terhadap kebijakan tarif Donald Trump.

“Meskipun ekspor Indonesia ke AS hanya sekitar 9,9 persen dari total ekspor nasional, reaksi pasar yang berlebihan mengindikasikan adanya kekhawatiran lebih dalam terhadap ketegangan dagang global, potensi perlambatan ekonomi dunia, serta belum adanya respons cepat dari pemerintah RI sebelum pasar dibuka,” ujar Hendra.

Justru, Ia menilai saat ini menjadi peluang strategis bagi investor untuk mengoleksi saham-saham unggulan dengan harga murah di pasar saham Indonesia.

“Justru saat investor panik, ini bisa menjadi peluang strategis untuk mulai mengoleksi saham-saham unggulan yang harganya terkoreksi dalam. Apalagi, Indonesia memiliki fondasi ekonomi yang tetap solid: pertumbuhan PDB stabil di kisaran 5 persen, neraca perdagangan masih surplus, dan fundamental emiten-emiten besar tetap kuat,” ujar Hendra.



Pos terkait