Kampung Haji BPKH, Hunian Tetap Korban Tanah Bergerak Sukabumi

Dikira Perumahan, Banyak Orang Tanya Unit Kosong

Kampung BPKH
FASILITAS LENGKAP: Warga melintas di Kampung Haji BPKH Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (14/9). (MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS)

Salah satu RW di Kampung Gunung Batu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, sekarang menjadi kampung mati. Seluruh penghuninya direlokasi akibat bencana alam tanah bergerak.

Bertahun-tahun menempati hunian sementara (huntara), kini mereka menghuni hunian tetap (huntap) yang dibangun Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

M HILMI SETIAWAN, Sukabumi | radarsampit.com

Di Sela menjalankan tugas sebagai KPPS Pemilu 2019 di Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi, konsentrasi Deden Mulyana terpecah.

Selain harus bekerja untuk kelancaran pesta demokrasi, dia harus memikirkan nyawanya beserta keluarga yang terancam karena rumah retak-retak akibat fenomena tanah bergerak.

’’Setiap hari retakannya bertambah,’’ kata Dede kepada Jawa Pos Kamis (12/9) lalu.

Hingga akhirnya kawasan seluas satu RW itu dinyatakan masuk zona merah ancaman longsor. Tidak ingin ada korban jiwa, seluruh warga dievakuasi ke tenda pengungsian yang berjarak sekitar 1 kilometer dari kampung.

Deden masih ingat, saat itu warga mulai dievakuasi pada 25 April 2019. Ratusan warga tinggal di tenda pengungsian sekitar tiga bulan. Setelah itu, mereka direlokasi ke hunian sementara. Bangunannya mirip seperti barak tentara yang berjejer panjang. Setiap keluarga mendapatkan jatah ruangan berukuran 4 x 4 meter.

Baca Juga :  Kejam! Lelaki di Kalteng Ini Bunuh Istrinya karena Sering Dimarahi

’’Ruangannya kotak begitu saja, tanpa sekat. Kalau mau disekat jadi kamar-kamar, disekat sendiri,’’ kenangnya.

Pria 38 tahun itu menceritakan, kondisi selama tinggal di huntara tersebut jauh dari kata layak. Apalagi, ada beberapa keluarga yang tinggal ramai-ramai dalam satu ruangan. Bahkan ada yang sampai tiga kepala keluarga (KK).

Semula oleh pemerintah setempat warga dijanjikan tinggal di huntara sekitar dua tahun saja. Pertimbangannya adalah menunggu lokasi dan pembangunan huntap. Tetapi, setelah ditunggu sampai dua tahun, janji adanya unit huntap tidak kunjung tercapai.

Deden bersama warga lainnya bahkan sampai membentuk semacam paguyuban. ’’Tujuannya mengawal realisasi adanya huntap untuk warga,’’ tuturnya. Bapak dua anak itu bertugas sebagai humas di paguyuban tersebut.



Pos terkait