Kampus Seolah Tutup Mata, Bullying kepada Mahasiswa PPDS jadi ‘Budaya’

Polisi Diminta Selidiki Penyebab Bunuh Diri Kematian Dokter Aulia Risma

ilustrasi kampus
Ilustrasi

Kematian dokter Aulia Risma, mahasiswi program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), menambah panjang daftar kasus perundungan di lingkungan kampus.

Jawa Pos (induk grup radar sampit) mewawancarai beberapa mahasiswa PPDS maupun yang sudah lulus. Mereka mengakui bahwa budaya bullying itu belum benar-benar hilang.

Bacaan Lainnya

Leo, bukan nama sebenarnya, sudah semester akhir menjalani masa residen. Meski sudah senior, bayang-bayang perundungan itu masih membekas di benaknya. ”Beban kerja yang melebihi kapasitas dan di luar konteks akademik, plus adanya sumbangan dan dana lain yang seharusnya tidak kami tanggung,” ujarnya Jumat (16/8/2024).

Dia pernah diminta memindahkan sofa dari rumah seniornya ke ruang departemen. Selain itu, dia pernah dimintai uang dengan alasan pembangunan. Namun, dana tersebut harus diberikan secara tunai.

Bukan itu saja. Setiap semester baru, ada pesta penyambutan untuk residen baru. Namun, menunya harus sesuai dengan yang dipesan dokter senior (konsulen).

Baca Juga :  TRAGIS!!! Habis Bikin Status WhatsApp, Perempuan Muda Tewas Gantung Diri

’’Apakah menyediakan wine atau menu lain. Biayanya kurang lebih Rp 30 juta sampai Rp 80 juta,” ungkapnya.

Biaya sebesar itu ditanggung oleh para residen. Mereka tak kuasa menolak. Meski mengeluh, residen akan tetap mengerjakan. ’’Kalau tidak dilakukan, bisa diberi nilai jelek atau tidak diberikan kasus (pasien),” curhat Leo.

Dia kuliah di luar Pulau Jawa. Menurut Leo, ’’sesajen’’ untuk konsulen lebih luar biasa. ’’Perlakuan ke junior itu masih feodal sekali dan terkadang ilmu yang dimiliki tidak sebanding dengan request mereka,” imbuhnya.

Kendati sudah bukan rahasia lagi, pihak kampus hingga Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seolah tutup mata. Slogan ’’No Bullying” terkesan hanya jadi tulisan.

Para pelaku tidak pernah ditindak tegas. Justru mereka yang mengadu akan berisiko dengan masa depannya.

’’Survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan kurang valid karena kami mengisi tidak ada bullying. Kami malas terlibat drama karena pasti terlacak oleh pihak kampus,” tutur Leo.

Cerita lain datang dari Venus. Dia menjadi residen pada 2014 lalu. Namun, dia akhirnya memutuskan keluar karena tidak cocok dengan kultur di tempatnya belajar.



Pos terkait