Transformasi digital kini menjadi sorotan hampir di semua sektor publik, tanpa terkecuali di bidang pemerintahan. Istilah seperti e-government, pelayanan publik digital, dan smart city kian sering terdengar.
Namun, di balik istilah-istilah tersebut, ada satu elemen penting yang kerap terlupakan, ialah peran seorang pemimpin dalam mengarahkan perubahan.
Sayangnya, masih banyak yang mengira bahwa pemimpin digital hanya perlu memahami teknologi atau platform digital semata. Padahal, tanggung jawab mereka jauh lebih kompleks.
Mereka dituntut untuk mampu mendorong perubahan menyeluruh, baik dalam sistem, cara kerja, maupun pola pikir birokrasi.
Pemimpin digital dalam pemerintahan seharusnya tidak hanya memahami teknologi. Mereka juga harus peka terhadap arah perubahan zaman dan perkembangan kebutuhan masyarakat. Publik saat ini mengharapkan layanan yang cepat, mudah diakses, transparan, dan tidak rumit.
Maka dari itu, pemimpin perlu berani merevisi sistem lama yang tidak lagi relevan, walaupun itu artinya harus menghadapi kebiasaan birokrasi yang sudah lama dan susah diubah.
Mengubah birokrasi tentu bukan perkara yang mudah. Kita tahu bahwa sistem pemerintahan di Indonesia sering kali lamban beradaptasi. Budaya kerja yang kaku, rasa takut mencoba hal baru, serta penolakan terhadap inovasi menjadi tantangan besar.
Di sinilah keberanian seorang pemimpin diuji, mereka harus bisa mengajak timnya keluar dari zona nyaman, menciptakan ruang untuk berinovasi, dan memberi contoh nyata dalam pelaksanaan perubahan.
Kepemimpinan digital juga harus mengedepankan inklusivitas. Artinya, mereka tidak boleh hanya berfokus pada teknologi canggih yang mungkin hanya bisa diakses oleh sebagian kecil masyarakat.
Pemimpin digital harus memastikan bahwa transformasi digital merata hingga ke pelosok desa, menjangkau kelompok rentan, serta masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi. Literasi dan akses digital adalah tanggung jawab bersama, dan pemimpin punya peran penting sebagai penggeraknya.
Tak kalah pentingnya, pemimpin digital harus memiliki empati. Banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merasa takut atau ragu saat diminta mengubah cara kerja yang sudah bertahun-tahun dilakukan, apalagi jika melibatkan teknologi yang belum mereka kuasai. Pemimpin tidak boleh sekadar memberi perintah atau memaksa.