Kisah Para Dai di Daerah 3T, Hadapi Tantangan dan Tebar Kedamaian

Liputan Khas Ramadan 1446 Hijriah (23)

Pendakwah Mumu Nazmudin saat mengajarkan anak-anak mengaji
AJAR MENGAJI: Pendakwah Mumu Nazmudin saat mengajarkan anak-anak mengaji di To’ Karau, Kecamatan Sesean, dan Baladatu Lembang, Kecamatan Rantebua, Toraja Utara. ANTARA/HO-Kemenag

Selain berdakwah secara langsung, ia juga berkomitmen untuk terus membimbing masyarakat secara daring setelah kembali ke Bogor.

Mumu bahkan membuka peluang bagi pemuda setempat yang ingin belajar agama di Jawa dengan biaya hidup dan pendidikan yang ditanggungnya.

Bacaan Lainnya

“Saya mengajak anak-anak di daerah ini untuk menempuh pendidikan agama di Jawa. Keluarga hanya perlu menanggung tiket perjalanan, selebihnya akan saya tangani,” kata dia.

Mumu Nazmudin merupakan salah satu dai yang mengabdi di wilayah 3T untuk berdakwah dengan damai dan toleran.

Pengalamannya di Toraja Utara bukan hanya tentang menyampaikan ajaran agama, tetapi juga membangun harmoni dalam keberagaman. Tantangan akses dan kendala bahasa justru memperkuat tekadnya untuk terus berkontribusi bagi umat.

Yang dialami Mumu, telah dirasakan sebelumnya oleh Musyawir (38). Ia merupakan satu dari 500 dai yang dikirim ke wilayah 3T pada 2024. Kala itu, Musyawir mendapat tugas berdakwah di Papua Barat.

Baca Juga :  Dari Tenggelamnya Kapal Muatan Pupuk di Muara Sungai Mentaya 

Ia dikirim untuk berdakwah di wilayah Kelurahan Kroy, Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat, selama Ramadhan 2024.

Musyawir bercerita Kabupaten Kaimana memiliki wilayah yang luas. Tidak ada akses jalan darat antara satu distrik dan distrik yang lain, dan antara distrik dan kota, bahkan antarkampung. Semua jalur transportasi melalui akses laut dan sungai.

Persentase penduduk Kabupaten Kaimana yang non-muslim dengan yang muslim hampir seimbang, 53 persen non-muslim dan 47 persen muslim.

Rata-rata mereka bekerja sebagai nelayan, sebagian yang lain berkebun kelapa dan pala. Masyarakat Kaimana cukup plural karena di sana ada delapan suku adat dan budaya.

Berdakwah di Papua, terutama Kaimana, tidaklah mudah karena taruhannya adalah nyawa. Seorang dai harus melewati lautan lepas dengan gelombang besar dan angin yang kencang yang selalu mengintai di setiap perjalanan ketika hendak berdakwah di kampung-kampung muslim.

Di samping itu, dai juga harus siap berkorban materi yang besar karena biaya perjalanan dakwah ke lokasi-lokasi terpencil tidak murah.



Pos terkait