Kontroversi Kebijakan Tapera, Negara Seolah-olah Merampok Pekerja

bagi uang
Ilustrasi

Ketua DPP Partai Demokrat itu mengatakan, Tapera merupakan program yang panjang  dan berkesinambungan. Sebab,  tenor Tapera bisa mencapai 30 tahun. Catatan kedua, lanjut Herman, apakah iuran tersebut hanya akan diberikan dalam bentuk rumah atau bisa diberikan berupa uang?

Berikutnya soal lokasi perumahan dari program Tapera. Menurutnya, hal itu menjadi pertanyaan penting, apakah lokasi perumahan sudah ditentukan saat melakukan pendaftaran?. “Pelaksanaan Taperan untuk PNS yang selama ini sudah berjalan bisa menjadi pelajaran,” katanya.

Bacaan Lainnya

Sementara potongan Tapera sebanyak 2,5 persen untuk pegawai dinilai belum bisa berlaku. Sebab, belum ada peraturan Menteri (permen) yang mengatur lebih detil terkait mekanisme Tapera.

Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menuturkan, Tapera tersebut baru diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Dalam PP tersebut begitu banyak hal yang belum diatur.

”Misalnya bagi yang sudah punya rumah buat apa ikut dipotong gajinya. Lalu, kalau punya tanah apakah bisa dibangunkan rumah,” paparnya.

Baca Juga :  Jalan Terjal Memberantas Judi Online, Kemenkominfo anak Sanksi Medsos dan Provider Internet

Sebuah kebijakan baru bisa berlaku setelah disahkan permen. Tanpa permen maka, PP Tapera tersebut belum bisa dilaksanakan. Belum bisa memotong gaji pegawai. ”Kalau saya ini semua orang sedang diprank sama Presiden Jokowi. Kan hobinya begitu seperti BPJS,” jelasnya.

Bukankah dalam PP disebut berlaku mulai 20 Mei? Dia mengatakan bahwa selama belum ada permen, regulasi itu masih tertahan. Sudah pasti regulasi ini belum bisa dijalankan. ”Pasti Tapera ngendok. Kalau saya menyimpulkan presiden ingin mendengarkan rakyatnya protes apa saja,” ujarnya.

Yang pasti, lanjutnya, selama ini kebijakan pemerintahan Jokowi sering kali asal menabrak. Kebijakan dibuat secara asal sekan terus bekerja. ”Kan selama ini banyak kebijakan yang ngawur. Belum kena batunya saja,” paparnya.

Dia menegaskan, dalam mengeluarkan regulasi wajib memiliki dasar hukum dan wajib pula untuk melakukan konsultasi publik. Bisa dengan membentuk focus grup discussion (FGD) atau mengajak media massa. ”Celotehan masyarakat itu harus dimasukkan kalau memang dianggap baik,” terangnya.



Pos terkait