Menurutnya, ketersediaan minyak goreng MinyaKita di pasaran memang terbatas, hanya ada pada toko-toko tertentu dan tidak selalu ada.
”Untuk harga eceran, di kisaran Rp16-17 ribu per liter. Memang sedikit lebih mahal dari HET yang ditetapkan pemerintah, mengingat biaya distribusi ke tempat kita juga cukup tinggi,” ujarnya.
Mengenai kekurangan isi minyak subsidi, Ernila mengatakan, tidak terjadi gejolak di masyarakat Lamandau. Mengingat keberadaan minyak goreng merek lain masih melimpah, dengan selisih harga sekitar Rp3.000-5.000/liter.
”Saat pemantauan, kami telah menyampaikan pada pelaku usaha agar tidak melakukan penimbunan terhadap minyak goreng merek MinyakKita dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan lebih, yakni memanfaatkan situasi saat barang tersebut dalam keadaan langka dan permintaan barang yang tinggi, sehingga memicu kenaikan harga yang signifikan dan kelangkaan,” tegasnya.
Kekurangan isi minyak subsidi tersebut direspons berbeda di kalangan masyarakat selaku konsumen. Sebagian menduga kekurangan itu ada unsur kesengajaan, mengingat terjadi merata hampir di semua daerah. Namun, ada juga yang memaklumi apabila kurangnya hanya sedikit.
”Kalau kurangnya tak lebih dari sepuluh botol masih wajar, tapi kalau hampir semua yang beredar ada kekurangan, sudah tak wajar lagi meskipun kurangnya hanya 30 mililiter. Bayangkan kalau yang dijual ada ratusan ribu botol dan semua isinya tak sesuai,” kata Dani, warga di Kecamatan Ketapang, Sampit.
Andre, warga Jalan Rajawali Palangka Raya curiga kekurangan itu untuk mengeruk keuntungan besar dari subsidi pemerintah. Kekurangan takaran tersebut apabila diakumulasi secara total, jumlahnya besar. Di sisi lain, barang yang dijual 1 liter, namun isinya tak sesuai seperti yang ditawarkan, sama artinya menipu konsumen.
”Mudahan saja pemerintah segera menyikapi dan menertibkan produsen minyak subsidi agar barang yang dijual sesuai seperti yang ada dalam kemasan,” katanya. (daq/mex/ign)