Lahan Tugu Soekarno di Palangka Raya Disengketakan, Ahli Waris Gugat Rp231 Miliar

Tugu Soekarno
PERLIHATKAN BUKTI: Para ahli waris Dambung Djaya Angin menggugat sejumlah pihak terkait kepemilikan tanah di Palangka Raya, Senin (5/8/2024). (DODI/RADAR SAMPIT)

Surat itu disebut terdaftar dalam buku Registrasi Kepaniteraan Pengadilan Negeri Palangka Raya Nomor 232/XI/1981/S.K. tertanggal 9 November 1981.

Heri menuturkan, klaim tersebut merupakan fakta dan bisa dibuktikan kebenarannya. Ditandai dengan adanya makam kakek buyut bernama almarhumah Dambung Djaya Angin. Keberadaan makam tersebut masih utuh hingga kini, tepatnya di halaman Kantor DPRD Kalteng.

Bacaan Lainnya

”Secara akal sehat dan logika berpikir, tidak mungkin makam bisa berada di tempat tersebut kalau bukan tanah pribadi. Gugatan kami layangkan karena sudah puluhan tahun ahli waris tidak pernah mendapatkan uang pembebasan lahan atau ganti rugi dari pemerintah. Malah lahannya dimanfaatkan tanpa izin ke ahli waris,” ujarnya.

Heri menambahkan, ahli waris menuntut dan mendesak Pemerintah Provinsi Kalteng dan Pemkot Palangka raya mengambil tindakan tegas terhadap penyelesaian atas hak-hak yang belum diselesaikan kepada pihak ahli waris Dambung Djaya Angin.

Baca Juga :  Satwa Pemalu Ini Rusak Kebun Warga

Selain itu, mendesak tergugat dan serta turut tergugat segera membayarkan hak ahli waris Dambung Djaya Angin.

Roby Rahmat, perwakilan ahli waris yang juga cicit Dambung Djaya Angin, mengungkapkan, Djaya Angin dulunya kepala desa di Penda Barania. Gelar yang diberi Pemerintah Belanda saat itu adalah Dambung atau kepala desa.

Dalam kesehariannya, Dambung Djaya Angin biasa berdagang ke Kampung Pahandut menggunakan perahu yang ditempuh dengan waktu tiga jam saat itu. Dambung Djaya Angin lalu pindah dan membangun rumah di suatu tempat bernama Bukit Jekan yang saat ini berdiri Tugu Soekarno.

Dambung Djaya Angin memboyong istrinya Bawi Nunyang dan anak-anaknya ke lokasi tersebut. Namun, sebelum rumah betang selesai, pada 1935, Dambung Djaya Angin meninggal dunia.

”Pembangunan rumah kemudian dilanjutkan anak sulungnya yang meninggal 15 tahun kemudian. Disusul Bawi Nunyang dua tahun kemudian,” ujar Heri.

Hingga akhirnya Rumah Betang selesai, anak-anak Dambung Djaya Angin menetap di lokasi tersebut sambil menggarap lahan untuk berkebun dan berladang.



Pos terkait