Kepala desa, BPD, dan masyarakat kompak menolak praktik tersebut. Warga bersikukuh mempertahankan hutan dan tak ingin memperjualbelikan lahan yang jadi terakhir mereka di desa itu. Sebagai bentuk protes, warga sempat menyurati Bupati Kotim Halikinnor, menolak izin baru PT BSL.
Persoalan itu mencuat setelah sejumlah warga Desa Ramei didatangi utusan perusahaan yang meminta kepala desa menandatangani dokumen persetujuan pemasangan tanda batas di Desa Tumbang Ramei.
Sebagai informasi, izin konsesi pelepasan kawasan hutan PT Bintang Sakti Lenggana hanya mencakup lima desa, yaitu Tumbang Kalang, Tumbang Manya, Kuluk Telawang, Sei Puring, dan Desa Tumbang Ngahan dengan luasan 5.906,07 hektare.
Izin tersebut sempat dicabut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tetapi dikeluarkan lagi. Permasalahan di Desa Tumbang Ramei mencuat ketika desa melaksanakan PTSL, namun ada upaya untuk menggagalkan program tersebut.
PT BSL merencanakan secara sepihak alokasi realisasi plasma terhadap lima desa, yaitu Tumbang Kalang, Tumbang Manya, Kuluk Telawang, Sei Puring, dan Tumbang Ngahan. Lokasi plasma itu akan digarap di Desa Tumbang Ramei dan Tumbang Hejan.
Manajer Humas PT BSL Suling saat dikonfirmasi mengatakan, dirinya perlu mempelajari persoalan itu. Dia akan menjawab tudingan warga ketika berada di Sampit secara langsung. ”Kebetulan saya masih di Kalang. Nanti tunggu saat di Sampit,” ujar Suling pekan lalu. (ang/ign)