Melukis Harapan di Lembar Pendidikan: Kritik dan Solusi untuk Negeri

anisa rahmi fakhriyana, s.pd
Anisa Rahmi Fakhriyana, S.Pd, Mahasiswi Pascasarjana Program Magister S-2 Pedagogi di Universitas Muhammadiyah Malang

Pendidikan adalah lembar harapan tempat kita melukis mimpi-mimpi besar bagi bangsa ini. Namun, di Indonesia, lembar ini sering kali koyak, dihiasi noda ketimpangan yang tak kunjung terhapus, sementara kuas perubahan masih tertahan di tangan yang ragu.

Saatnya menggenggam erat kuas itu, menorehkan kritik tajam untuk membuka jalan bagi solusi yang nyata, agar lembar pendidikan tidak lagi menjadi saksi bisu kegagalan sistem, melainkan menjadi pencipta bagi lukisan yang lebih indah bagi masa mendatang.

Ketimpangan yang Mengoyak Lembar Harapan

Kritik pertama jatuh pada ketimpangan akses pendidikan yang nyata, menciptakan jurang lebar antara anak-anak di kota besar dan mereka yang tinggal di pelosok pedalaman. Jika kita menatap dengan jujur masih banyak anak Indonesia yang harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan hak dasar mereka pendidikan yang layak.

Di pedalaman Kalimantan, misalnya, sekolah-sekolah kecil berdiri dengan segala keterbatasannya. Ada bangunan yang lebih mirip gudang daripada ruang belajar, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap yang bocor ketika hujan turun.

Baca Juga :  Menata Ulang Keretakan Politik Bersama

Sementara itu, di pusat kota, sekolah-sekolah berkilau dengan teknologi canggih yang seolah hanya milik kaum berada. Bagaimana mungkin lembar pendidikan bisa menjadi harapan jika bahkan dasar kemanusiaan berupa akses pendidikan tidak bisa dijamin?

Metode pembelajaran yang diterapkan juga menjadi noda yang sulit dihapus. Guru sering kali terjebak dalam rutinitas mengejar target kurikulum, melupakan bahwa pendidikan bukan sekadar mencetak nilai, tetapi membentuk jiwa.

Anak-anak belajar untuk menghafal, bukan memahami, untuk mengikuti, bukan mempertanyakan. Siswa menjadi robot yang diprogram untuk lulus ujian, tanpa bekal menghadapi dunia nyata. Lembar pendidikan berubah menjadi ruang kosong tanpa makna.

Menggoreskan Warna Baru: Solusi untuk Pendidikan

  1. Pemerataan Akses Pendidikan

Warna pertama yang perlu kita tambahkan adalah warna keadilan. Setiap anak berhak atas pendidikan yang layak, tanpa memandang di mana mereka dilahirkan. Pemerintah harus mengganti fokus pada statistik yang semu dengan komitmen nyata untuk membangun sekolah-sekolah yang layak di pedalaman.



Pos terkait