Saat memasuki gereja, sorotan cahaya alami masuk melalui jendela kaca patri berbentuk bintang Daud, memberikan nuansa khidmat dan spiritual.
Ornamen kaca patri bergambar anggur, roti, dan burung merpati—simbol darah dan tubuh Kristus serta Roh Kudus. Di altar, sebuah cawan perjamuan dari kayu pohon Zaitun asli Yerusalem menjadi saksi setiap momen sakral Perjamuan Kudus.
Maranatha terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama menjadi ruang utama ibadah, lantai kedua sebagai ruang persiapan pendeta, dan lantai ketiga difungsikan sebagai perpustakaan.
Di lantai tiga inilah tersimpan sebuah lonceng kuno yang didatangkan langsung dari Swiss, yang dulu digunakan sebagai penanda waktu ibadah.
“Lonceng ini adalah salah satu benda paling bersejarah di gereja. Dahulu ia dibunyikan untuk memanggil jemaat, tapi kini kami rawat sebagai simbol warisan rohani,” tuturnya.
Salah satu keunikan Gereja Maranatha yang mencerminkan nilai keberagaman adalah keberadaan mural kisah-kisah Alkitab di dinding luar sisi timur gereja.
“Yang membuat mural itu adalah seniman Jawa beragama Islam. Ini bentuk toleransi dan gotong royong yang indah, semua hasil sumbangan,” jelas Pdt. Mediorapano.
Bersama dengan Gereja Eka Sinta dan Gereja Parapah, Maranatha menjadi bagian dari GKE Resort Sampit yang saat ini melayani sekitar 1.057 kepala keluarga atau sekitar 4.600 jiwa. Kegiatan ibadah pun berlangsung secara teratur, termasuk ibadah khusus kaum ibu di luar hari Minggu.
Semua proses pembangunan, lanjut Pdt. Mediorapano, tak lepas dari semangat gotong royong jemaat. Bahkan, dukungan perusahaan kayu seperti PT Inhutani pada masa itu turut memperlancar penyediaan bahan bangunan.
Kini, Gereja Maranatha berdiri bukan hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai penanda sejarah kekristenan, tempat bertemunya tradisi, budaya, dan iman dalam harmoni.
Di tengah perayaan Jumat Agung dan Paskah, gereja ini kembali menjadi pusat spiritualitas dan refleksi umat, tempat di mana jejak iman terus dilanjutkan dari generasi ke generasi. (*)