Miris! Negara Tega dengan Nasib Gurunya

catatan sabrianoor
Sabrianoor

Oleh: Sabrianoor

Alvi Noviardi seorang guru honorer berusia 57 tahun asal Sukabumi, harus rela menjadi pemulung sampah sepulang mengajar.

Bacaan Lainnya

Itu dia lakukan demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Penghasilan dari profesinya tidak mencukupi. Padahal, dia sudah mengabdi selama 36 tahun lamanya.

Sepenggal cerita Alvi di atas hanyalah sekelumit kisah guru honor yang ada di Indonesia. Tak jarang kita temukan cerita para guru yang rela digaji alakadarnya, di bawah Rp1 juta untuk mencerdaskan anak bangsa.

Guru bekerja mau tak mau harus lebih dari sekadar profesionalisme. Karena ada puluhan manusia hidup yang ia urus setiap hari.

Tak hanya dengan pikiran dan tenaga, namun juga jiwa untuk memahami dan mendidik anak bangsa menjadi pribadi yang baik.

Manusia di Indonesia ini seakan sampai hati. Kita yang punya satu atau dua orang anak saja cukup kerepotan. Bahkan, terkadang ada yang sampai menggunakan kekerasan.

Baca Juga :  Guru di Palangkaraya Diminta Utamakan Keselamatan

Lihatlah guru-guru itu. Puluhan manusia kecil di kelas yang ia didik. Tanpa jiwa yang sabar, profesi itu tak akan mungkin dilakukan.

Namun, jangankan untuk sekadar hidup, ijazah pendidikan yang bertahun-tahun ia perjuangkan dan pengorbanannya, tak cukup untuk hidup bagi sebagian guru.

Seolah-olah semua berlindung di kalimat ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Seakan guru adalah manusia dewa yang tak butuh makan. Tak butuh tempat tinggal, dan tak butuh menikah.

Pemerintah seakan tutup mata dengan permasalahan yang sudah sekian lama memprihatinkan ini.

Solusi yang ada belum menjamin dan mengakomodir semua guru. Formasi CPNS dan kontrak sudah jelas-jelas jomplang dengan guru yang ada.

Namun, bukannya meringankan, hal ironis terjadi beberapa waktu lalu. Di mana kebijakan Pemerintah DKI jakarta mendorong sekolah-sekolah di sana melakukan pemecatan sepihak para guru. Tanpa pemberitahuan dan pesangon.

Tidak seberdaya apa sebenarnya Indonesia membenahi nasib guru. Hal yang.tidak masuk akal dibandingkan pemindahan ibu kota sendiri.

Bukankah Indonesia punya anggaran dan kuasa memberikan regulasi terkait gaji guru honorer? Misalnya, menetapkan aturan minimal penggajian guru.



Pos terkait