Pelanggaran Sawit di Seruyan Dibeberkan

Seruyan,pelanggaran sawit,Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS),berita palangkaraya
Pihak Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS) saat melakukan diskusi, menyikapi langkah Pemkab Seruyan menerapkan metode Pendekatan Yurisdiksi untuk mengurangi deforestasi dan konflik sosial, sebagai bagian integral dari paradigma pembangunan berkelanjutan.(dodi/radarsampit)

PALANGKA RAYA, RadarSampit.com– Diskusi menarik yang digelar Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS), Senin (5/12). Sasarannya menyikapi  langkah Pemerintah Kabupaten Seruyan yang menerapkan metode Pendekatan Yurisdiksi untuk mengurangi deforestasi dan konflik sosial, sebagai bagian integral dari paradigma pembangunan berkelanjutan.

Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengaduan dan Pengelolaan Data Konflik Usaha Perkebunan.

Bacaan Lainnya

Direktur Palangkaraya Ecological and Human Rights Studies (PROGRESS) Kartika Sari mengatakan, meskipun pemerintah Seruyan melakukan langkah tersebut, pihaknya menilai masih banyak kasus-kasus yang merugikan masyarakat dan hal tersebut belum terselesaikan secara baik.

“Masih ada masyarakat yang komplain kepada pemda dan itu sulit dilakukan.Contohnya ada pengaduan terkait pemberian plasma, namun sampai saat ini tidak ada tanggapan dan jawaban. Padahal pemda setempat memiliki komitmen membantu masyarakat dan menjalankan pendekatan yurisdiksi tersebut,” ujarnya,  didampingi Rosalia Ketua Departemen kampanye dan Advokasi PROGRESS.

Baca Juga :  Polisi Diminta Jangan Sakiti Rakyat

Kartika membeberkan, penelitian yang dilakukan oleh PROGRESS dan YMKL mendokumentasikan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan besar kelapa sawit di tujuh Desa di Kabupaten Seruyan, seperti tidak dilaksanakan Proses FPIC (Free Prior Informed Consent) atau PADIATAPA.

“PBS hanya melakukan sosialisasi kehadiran perusahaan mereka melalui perwakilan dari desa terkait bahwa mereka telah mendapatkan izin dari pemerintah tanpa meminta persetujuan dan menjelaskan informasi. Terutama dampak ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan terhadap masyarakat ,baik itu positif dan negatif,” sebutnya.

Kartika melanjutkan,  ada juga ganti rugi yang tidak Adil. Salah satunya di perusahaan dimana pada tahun 2007 mengganti rugi dengan harga yang sangat murah Rp500.000/ha lahan masyarakat dan juga adanya lahan yang diganti rugi oleh pihak lain (bukan pemilik lahan) ke perusahaan.



Pos terkait