PANGKALAN BUN – Praktisi pertanian Kotawaringin Barat Wayan Supadno mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada para petani sawit mandiri akibat makin jatuhnya harga buah kelapa sawit di daerah. Padahal, komoditas kelapa sawit merupakan produk unggulan ekspor Indonesia.
Menurutnya, dampak kebijakan pemerinta tidak kreatif dan tidak produktif. Pemerintah tetap memberikan beban pajak ekspor, pungutan, dan flush out yang dirasakan terlalu besar serta tidak wajar, yakni 55 persen atau Rp 11 juta per ton, Rp 20 juta per ton kali 100 persen dari harga CPO global. Tentu hal itu mempersulit pengusaha dan membawa efek domino yang berpengaruh pada petani sawit mandiri yang berasal dari masyarakat.
Wayan Supadno yang beberapa kali menyabet penghargaan bergengsi bidang agribisnis ini menegaskan bahwa dampak kebijakan yang diambil pemerintah membangkrutkan petani kecil secara massal demi pajak pungutan berlebihan.
“Saat ini petani menjerit, 70 pabrik kelapa sawit (PKS) terpaksa tutup atau tidak menerima TBS petani, saat ini harga TBS di petani mandiri hanya Rp 800 per kilogram. Padahal sebelum kebijakan itu, harga sawit mampu tembus Rp3.800 per kilogram, sementara Malaysia harga TBS sudah mencapai Rp 5000, ini sangat ironis sekali,” tegasnya, Selasa (28/6).
Mantan Prajurit TNI berpangkat Mayor ini juga menuding beratnya syarat ekspor CPO juga menjadi penyebab tutupnya pabrik kelapa sawit, seperti pajak ekspor atau bea keluar US $ 288 per ton, pungutan ekspor oleh BPDPKS US $ 200 per ton, flush out US $ 200 per ton. Sehingga total beban US $ 688 setara Rp11 juta per ton. Padahal harga CPO global hanya US $ 1.380 setara Rp 20 juta per ton.
Jika dipotong pajak pungutan dan flush out Rp11 juta perton, tinggal Rp 9 juta per ton di pelabuhan. Belum lagi biaya kirim dari PKS dan biaya lainnya, bahkan hari ini 28 Juni 2022 harga CPO Rp 7 jutaan per ton (KPBN).
“Sungguh sangat mengkhawatirkan, kesempatan emas harga cantik di pasar global tapi tidak bisa dimanfaatkan dengan bijak,” keluhnya kepada Radar Sampit.