”Akses pelayanan ke daerah terpencil sulit, sarpras yang terbatas dan kurang memadai, rendahnya minat calon pengantin untuk mengikuti bimbingan perkawinan serta terbatasnya kuantitas dan kapasitas sumber daya manusia yang melakukan edukasi gizi, dan jumlah data penerima bansos yang rendah, juga menjadi permasalahan penanganan stunting yang dihadapi di wilayah ini,” ujarnya.
Halikinnor menuturkan, dengan total 317 posyandu yang tersebar, tersedia 329 antropometri dan 13 USG. Sebagai bentuk upaya percepatan penurunan stunting masih perlu dukungan antropometri dan 11 USG.
Halikinnor berharap pada pemerintah pusat terkait pengadaan USG sebanyak 11 unit dan dukungan anggaran terkait pemenuhan sarana dan prasarana kesehatan. Kemudian, dukungan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sanitasi dan air bersih minum yang layak.
”Harapan kepada pemerintah pusat adalah pengangkatan CPNS tenaga kesehatan, yaitu perawat ahli gizi, bidan dokter, sanitarian, dan penyuluh kesehatan, dukungan anggaran untuk kelanjutan program percepatan penurunan stunting ke daerah, di antaranya DAK non-fisik untuk stunting,” ujarnya.
Sementara itu, Halikinnor menambahkan, target penurunan stunting di Kotim harus ditangani dengan kerja sama, kerja keras, dan kerja nyata agar tercapai. Hal itu bisa dilakukan dengan intervensi penurunan stunting. Demi mencapai hasil yang optimal, sinergi dan kolaborasi di kalangan stakeholder harus dibangun dengan sangat baik, sehingga semua dapat berperan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.
”Berbagai upaya terus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kotim dalam percepatan penurunan stunting, terutama melalui intervensi,” katanya. (yn/ign)