“Energi hidro adalah salah satu sumber EBT paling potensial yang dimiliki Indonesia dan dapat dikembangkan secara masif untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, khususnya yang berasal dari impor. Untuk mengoptimalkan potensi ini, dibutuhkan kolaborasi erat dan berkelanjutan antara negara, industri, komunitas, termasuk IHA dan INAHA (Indonesian Hydropower Association),” ujar Darmawan.
Direktur Manajemen Risiko PLN, Suroso Isnandar, menjelaskan bahwa PLTA menjadi salah satu tulang punggung dalam rencana transisi energi nasional. Dari rencana penambahan kapasitas pembangkit sebesar 71,2 GigaWatt (GW) hingga 2034, sekitar 59% akan berasal dari energi terbarukan. Dari porsi energi terbarukan tersebut, sekitar 28% berasal dari tenaga air atau hidro.
“Target ini menjadi blueprint masa depan kami untuk mewujudkan ekosistem energi bersih di Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi, daya saing, dan kemakmuran. Yang terpenting adalah menciptakan lingkungan yang lebih baik dan bersih di masa depan,” kata Suroso.
Suroso menambahkan bahwa potensi tenaga hidro yang telah teridentifikasi di Indonesia mencapai 28,9 GW. Sebagian besar berada di Kalimantan dengan lebih dari 13 GW, Sumatera lebih dari 7 GW, dan Sulawesi lebih dari 5 GW.
Sebagai upaya akselerasi energi hijau di sektor tenaga hidro, PLN tengah berkolaborasi dalam menjalankan proyek strategis seperti Mentarang Induk 1,3 GW dan Kayan Cascade 9 GW di Kalimantan Utara. Sedangkan di Pulau Jawa, PLN tengah membangun Upper Cisokan Pumped Storage, pembangkit pumped storage pertama di Indonesia dengan kapasitas 1.040 megawatt (MW). Proyek ini didukung oleh World Bank dan diharapkan dapat meningkatkan keandalan sistem kelistrikan Jawa-Bali. (*)