Putusan MK Keluar, Peluang Majukan Pilkada Tertutup Rapat

Terkait Ambang Batas, DPR Anggap Momentum Tata Ulang Kepemiluan

ilustrasi pilkada
Ilustrasi Pilkada

JAKARTA, radarsampir.com – Di tengah rencana dimajukannya pilkada, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan untuk menjalankan agenda politik tersebut sesuai jadwal. Dalam pertimbangan putusannya, MK mengingatkan potensi tumpang tindih dengan tahapan Pemilu 2024 jika pilkada dimajukan September.

”Oleh karena itu, pilkada harus dijalankan sesuai jadwal yang dimaksud,’’ kata hakim konstitusi Daniel Yusmic saat membacakan putusan pada sidang di MK Kamis (29/2/2024) lalu.

Bacaan Lainnya

Perintah itu tertuang dalam pertimbangan putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024. Perkara tersebut diajukan dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia bernama Ahmad Alafizy dan Nur Fauzi Ramadhan.

Keduanya sejatinya tidak mempersoalkan jadwal pilkada. Norma yang diuji adalah kewajiban mengundurkan diri bagi calon anggota legislatif (caleg) terpilih di Pemilu 2024 dan akan maju dalam Pilkada 2024. Sebab, dalam Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, yang diwajibkan mundur hanya anggota legislatif yang sudah menjabat.

Baca Juga :  Beratnya Perjuangan KPPS Menjaga Suara Warga

Terhadap perkara itu, MK memutuskan calon yang baru terpilih tidak harus mundur. Karena belum punya jabatan, MK menilai belum ada potensi penyalahgunaan. MK hanya meminta KPU mengatur syarat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi sebagai anggota legislatif dan tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Namun, dalam pertimbangan hukum butir 1.13.3, MK juga mengingatkan konsistensi penetapan jadwal pilkada. MK menegaskan, mengubah jadwal yang berpotensi mengganggu tahapan justru mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan pilkada serentak.

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan sikap MK. Dia melihat, belakangan MK kerap mengejutkan dengan putusan atau pertimbangan yang sering mendadak.

’’Terhadap perubahan-perubahan itu, dapat juga menimbulkan kesan seolah MK berlaku seperti pembuat UU juga,’’ ujarnya saat dikonfirmasi kemarin.

Padahal, lanjut dia, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, pembuat UU itu adalah DPR dan pemerintah. Bukan lembaga peradilan.



Pos terkait