Sejarah Istilah ”Jin Buang Anak” Jadi Tempat Berlindung Edy Mulyadi, tapi…

Istilah ”jin buang anak” seketika populer saat Edy Mulyadi
Edy Mulyadi.

Istilah ”jin buang anak” seketika populer saat Edy Mulyadi, sosok yang menolak keras pemindahan ibu kota negara (KN) ke Kalimantan Timur, menyampaikannya untuk menggambarkan wilayah Kalimantan. Protes keras dari masyarakat Kalimantan langsung bermunculan dari berbagai penjuru.

Setelah mendapat kecaman dari berbagai pihak, Edy Mulyadi meminta maaf dan membuat klarifikasi terkait penyataannya tersebut. Menurutnya, istilah ”jin buang anak” dipakai untuk menggambarkan tempat yang jauh.

Bacaan Lainnya

”Jangankan Kalimantan, dulu monas itu disebut tempat ’jin buang anak’,” ujarnya melalui akun Youtube pribadinya, Senin (24/1). Dia menegaskan, konteks ”jin buang anak” dalam pernyataan itu adalah untuk menggambarkan tempat jauh, bukan untuk mendiskreditkan pihak tertentu.

Penelusuran Radar Sampit, Alberthiene Endah, dalam buku yang berjudul ”Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life” (2019), mengungkapkan kisah suatu wilayah yang disematkan istilah ‘Jin Buang Anak’.

Baca Juga :  Pelajar SMA di Palangka Raya Bawa Alat Isap Sabu ke Sekolah

Dikutip dari faktaidn.com, buku itu mengkisahkan sejarah kesuksesan Ciputra dalam pembangunan kawasan di selatan Jakarta pada era 1980-an yang kini jadi salah satu kawasan paling elite di Jakarta, yaitu Pondok Indah dan Bintaro.

Meski mengambil istilah populer di Jakarta, yakni tempat ”Jin Buang Anak” untuk menilai satu wilayah, namun Ciputra berhasil mengubah keadaan dari istilah itu. Ciputra memulainya dari intuisi yang tajam terhadap peluang.

Kiasan semacam itu, masih menurut faktaidn.com, juga berlaku di banyak wilayah untuk menggambarkan kawasan yang dahulunya bukan apa-apa, sepi penduduk, namun ke depan akan jadi wilayah yang bernilai atau elite.

Istilah tempat ”jin buang anak” juga menjadi bahasa candaan daerah yang kerap terdengar di daerah Palembang. Istilah itu bermakna lokasi yang jauh dari fasilitas umum dan terpencil.

Meski Edy Mulyadi telah meminta maaf dan menjelaskan maksud pernyataannya, sebagian besar masyarakat Kalimantan tetap tidak terima. Istilah tersebut dinilai tidak tepat dipakai di kalangan umum yang lebih luas. Sebaliknya, justru mengandung ujaran kebencian dan penghinaan.



Pos terkait