Selain jaminan harga yang lebih pasti, ukuran timbangan perusahaan diyakini lebih valid karena rutin dilakukan pemeriksaan (tera/tera ulang) oleh pihak terkait. Tak hanya itu, BUMDes juga hanya mengambil Rp 25 per kilogram dari setiap penjualan sawit petani ke perusahaan.
Reno menerangkan bahwa dari 325 kepala keluarga yang memiliki kebun sawit, sekitar 90 persennya memilih ikut BUMDes dan menyetor buah mereka ke PT.GSPP. Selanjutnya, hubungan jual beli itu tak hanya sekedar setor buah, ditimbang, mengambil replas sawit, namun berlanjut pada pembinaan. Terutama terkait kualitas buah dan juga pola perawatan tanaman kelapa sawit agar mampu menghasilkan panen berkualitas sesuai standar perusahaann.
“BUMDes hanya mengambil sedikit, atau bahkan sangat sedikit bila dibandingkan dengan tengkulak. Karena memang kerjasama kami (BUMDes) dengan perusahaan lebih mengutamakan pemberdayaan petani sawitnya,” ungkap Ketua Asosiasi Kepala Desa ini.
Reno juga menegaskan bahwa kerjasama ini sebenarnya sudah lama direncanakan, namun baru bisa terlaksana pada awal tahun 2020 lalu, kemudian disusul dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan ekonomi sempat memburuk. Seiring berjalannya waktu, ternyata langkah yang diambil mampu menyelamatkan kelangsungan hidup warganya.
“Ini berjalan sejak awal pandemi, di tahun pertama (2020) kita dapat Rp 3 miliar, dan untuk tahun ini (2021) per November kita sudah dapat Rp 4,5 miliar. Ini uang yang masuk ke BUMDes saja, sedangkan berapa miliar yang berputar di tangan-tangan warga saya, yang jelas lebih besar lagi. Banyak asap dapur yang kembali mengepul,” ucapnya seraya bersyukur.
Upaya penyelamatan untuk mengembalikan senyum warga yang sebagian besar merupakan para petani juga dilakukan melalui program pertanian tanaman pangan (hortikultura) untuk kelompok rumah tangga. Pertanian hortikultura tidak harus dilakukan di lahan pertanian secara luas, namun hal itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga dan dapat bernilai ekonomis.