Mengenai tenaga kerja, Syaiful mengatakan sejauh ini belum terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Namun, ia mengakui ada indikasi pengurangan tenaga kerja di lapangan, meskipun Satgas PKH mengimbau agar tidak ada PHK.
Untuk kebun-kebun yang telah ditertibkan, menurut Syaiful, saat ini sawit masih tetap dikelola, namun telah dipasangi plang bertuliskan kawasan dikuasai negara. Tahap selanjutnya, pengelolaan akan dialihkan ke PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan negara yang ditunjuk untuk mengurus aset tersebut.
Syaiful juga mengkritik ketidakpastian regulasi yang dinilai membuat dunia usaha sulit berkembang.
”Dulu ada Perda Nomor 8 Tahun 2003, lalu keluar TGH-K 529, kemudian PP 61, kemudian UU Cipta Kerja, sekarang keluar lagi Perpres 5. Kami ini sudah berinvestasi besar, tapi karena perubahan-perubahan itu, izin yang belum selesai dianggap menyalahi,” katanya.
Ia berharap, ke depan, ada kepastian hukum dan keberlanjutan dalam kebijakan agar investasi di sektor sawit tetap berjalan dan tidak menimbulkan keresahan di tingkat pengusaha maupun pekerja.
Sementara itu, Bupati Kotim Halikinnor, juga menyoroti kondisi dunia kelapa sawit yang saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Mengutip pernyataan Ketua GAPKI Kalteng, Halikinnor menyampaikan bahwa sektor sawit saat ini “tidak sedang baik-baik saja”, terutama terkait dengan penegakan hukum yang dilakukan oleh Satgas PKH.
”Ini sedang berproses. Kita ikuti dan hormati proses hukum yang berjalan. Namun harapan kita bersama, pemerintah pasti akan mencarikan solusi terbaik agar dunia sawit tetap berjalan dengan baik. Dunia usaha dan pemerintah harus terus bersinergi,” ujar Halikinnor.
Lebih lanjut, Bupati menjelaskan bahwa dampak dari penurunan produksi sawit tidak hanya dirasakan oleh pelaku usaha, tetapi juga berimbas langsung pada pendapatan daerah.
Ia mengungkapkan, Dana Bagi Hasil (DBH) sawit untuk Kotim mengalami penurunan signifikan. Tahun 2023, daerah ini menerima DBH sebesar Rp48 miliar, namun pada 2024 turun menjadi Rp41 miliar.