Strategi ‘Buzzer Hypnotizing’ Kian Menjamur di Pilkada

catatan sabrianoor
Sabrianoor

Radarsampit.com – Sesekali sebelum menelan informasi bulat-bulat di media sosial, cobalah telaah akun  tersebut. Amati profil aktivitas akun, sumber berita dan kefleksibelan pernyataan yang ada.

Tak jarang akan ditemui sebuah kejanggalan yang akan mengarahkan dengan apa yang disebut buzzer. Jelang pemilihan kepala daerah (pilkada), kemunculan buzzer menjadi salah satu fenomena yang tak dapat dihindari.

Bacaan Lainnya

Buzzer sendiri telah menjadi tren seiring majunya teknologi digital.

Selain digunakan sebagai strategi pemasaran produk (marketing), buzzer dalam dunia politik tentunya untuk mempengaruhi perhatian dan menggiring opini publik.

Minimnya kemauan menelaah informasi serta langkah-langkah literatif lainnya membuat sebagian besar publik menjadi pasar Buzzer.

Khususnya Buzzer anorganik atau bot yang dikelola oknum yang mencari keuntungan. Buzzer yang bermunculan di berbagai media sosial ini dibagi menjadi buzzer organik dan buzzer anorganik.

Buzzer organik adalah buzzer yang berasal dari partai politik itu sendiri, bukan bayaran.

Baca Juga :  Kegaduhan Peralihan Pegawai KPK Menjadi ASN, Tersangka dan Buronan Sujud Syukur  

Buzzer organik dapat juga diartikan sebagai buzzer yang pengikut akun media sosialnya merupakan pengikut asli dan bukan bot.

Sedangkan buzzer anorganik, buzzer yang pengikut akun media sosialnya merupakan pengikut tidak asli. Pengikut buzzer anorganik biasanya merupakan bot.

Fenomena buzzer memang tidak dapat dihindari di Indonesia, terutama menjelang pemilihan umum. Akan tetapi, fenomena ini dapat disiasati dengan pencerdasan pemilih.

Pemilih yang biasanya menjadi target buzzer adalah mereka yang terbiasa menggunakan internet atau media sosial.

Semakin berkembangnya zaman, semakin tinggi interaksi kita di media sosial. Baik itu buzzer organik maupun buzzer anorganik pasti ingin mempengaruhi opini publik.

Tujuan buzzer, menyasar pemilih yang belum mempunyai pilihan pasti dan menggiring pilihannya tertuju pada satu paslon. Bisa juga sebaliknya, agar enggan memilih paslon lainnya.

Selama hal tersebut tanpa menjelekkan pasangan calon, hal itu sebenarnya sah-sah saja. Biasanya, sisi baik paslon akan ditampilkan dengan tujuan elektabilitasnya meningkat.



Pos terkait