Nasib baik juga dialami Junaidi. Pekerja porter bernomor punggung 28. Saat kedatangan KM Lawit Kamis (10/4) sore, ia beruntung mendapatkan upah hingga Rp 400 ribu.
“Alhamdulillah masa arus balik terakhir ini dapat empat penumpang nerima Rp 400 ribu,” ucap pria yang juga bergabung di TKBM selama 10 tahun ini.
Menjadi pekerja porter tentu saja bukan menjadi kerjaan utama. Karena, pekerjaan ini hanya sampingan hanya ketika saat keberangkatan dan kedatangan kapal saja.
“Kalau tidak ada kapal yang berangkat atau datang, nyari kerjaan lain. Jadi tenaga kerja bongkar muat pupuk atau semen. Itupun juga tidak menentu kadang sebulan kerjanya tujuh hari, bayarannya Rp 120 ribu per hari mulai dari jam 07.00-16.00 WIB,” ujarnya
Hal yang sama dialami Rusdi pria bernomor punggung 50 ini juga menjadi tenaga kerja bongkar muat di Pelabuhan Sampit.
“Selain menjadi porter, kerjanya jadi TKBM. Kalau tidak ada bongkar muat, jadi operator crane angkut kayu di muara alur sungai kerjaannya lima jam nonstop bayarannya Rp 200 ribu per hari,” ucap Rusdi yang sudah menjadi tenaga kerja bongkar muat sejak tahun 2003.
Pasaran upah angkut dikisaran Rp 30 ribu per koli. Setiap pekerja porter yang mendapatkan orderan jasa biasanya paling sedikit mendapatkan Rp 50-100 ribu dan paling besar mendapatkan Rp 500-700 ribu untuk beberapa kali angkutan barang penumpang.
“Hari ini sepi orderan. Dapat tiga penumpang upahnya Rp 300 ribu,” ucap Rusdi yang bersiap pulang selepas bekerja.
Sarifudin, Junaidi, dan Rusdi hanya sebagian pekerja porter di Pelabuhan Sampit yang berjuang mencari rejeki. Masih ada puluhan porter lainnya yang bernasib sama, namun tak semua mendapatkan penghasilan yang sama. (hgn/yit)