Tahun 2025 Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Harus Tersertifikasi ISPO

Instiper dan SPOS Indonesia Inisiasi Aplikasi Penyuluhan Digital SAWITKITA

panen sawit
PANEN SAWIT: Petani swadaya saat memanen kelapa sawit mereka. (Istimewa)

Sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, pengelolaan perkebunan kelapa sawit dari hulu ke hilir tidak bisa diremehkan.

Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, menjadi bukti keseriusan pemerintah untuk mewujudkan sistem pengelolaan perkebunan yang menitik beratkan pada faktor keberlanjutan yang layak secara sosial, ekonomi dan lingkungan.

Peraturan ini menekankan kewajiban semua pelaku usaha budidaya kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Menariknya, pemerintah memberikan kelonggaran waktu khusus bagi petani kelapa sawit kelompok swadaya hingga lima tahun sejak Perpres diterbitkan.

Berdasarkan data Partnership for Indonesia’s Sustainable Agriculture (PISAgro) jumlah kebun swadaya yang telah tersertifikasi baru mencapai 0,19% dari total luas 6,72 juta hektare. Tercatat 12,8 ribu hektare perkebunan kelapa sawit tersebut dikelola oleh 11 KUD/Kebun Plasma, 1 BUMDES dan 6 Koperasi/Asosiasi Kebun.

Seorang petani muda di Kabupaten Paser, Jumadan, mengaku telah mengelola kebun kelapa sawit sejak 12 tahun lalu. Namun, keterbatasan pengetahuan yang dimilikinya membuat pengelolaan kebun kelapa sawitnya belum sesuai standar praktik budidaya terbaik.

Baca Juga :  Gawat!!! Genangan di Arut Utara Kembali Naik

Menurutnya, pengelolaan yang selama ini dilakukan hanya berdasar pengetahuan yang diperoleh dari kebiasaan – kebiasaan yang sudah dipraktikkan oleh petani lainnya secara turun temurun.

Hal yang sama juga dialami oleh Nasdir, seorang pengurus kelompok tani di Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Ia menjelaskan, jumlah anggota kelompoknya sekitar 20 orang petani sawit dengan luas kepemilikan lahan antara 1 hingga 4 hektare.

“Harus kami akui, kapasitas pengetahuan petani seperti kami sangat terbatas. Kami juga tidak mendapat pendampingan dari pihak manapun untuk mengelola kebun kami,” akunya.

Di sisi lain, ada tuntutan yang semakin besar dari konsumen, terutama dari negara – negara importir di Eropa yang mengharapkan produk perkebunan kelapa sawit diproduksi sesuai dengan prinsip – prinsip keberlanjutan.



Pos terkait