Tahun 2025 Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Harus Tersertifikasi ISPO

Instiper dan SPOS Indonesia Inisiasi Aplikasi Penyuluhan Digital SAWITKITA

panen sawit
PANEN SAWIT: Petani swadaya saat memanen kelapa sawit mereka. (Istimewa)

Menurut Dekan Fakultas Pertanian Instiper Yogyakarta Dr. Dimas Deworo Puruhito, implementasi ISPO tidak mudah karena tingkat kesiapan (readiness to implement) dari kelompok pekebun untuk melakukan sertifikasi masih sangat rendah.

Ia menyebut masih banyak hambatan atau kendala yang harus diselesaikan di tingkat pekebun untuk mewujudkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan.

Alih-alih memperbanyak perkebunan yang bersertifikasi ISPO, penerapan ISPO secara wajib tanpa diikuti pembenahan dan pendampingan justru akan berpotensi mengeksklusi pekebun swadaya.

“Petani kita masih belum siap dan banyak menghadapi kendala terutama kapasitas pengetahuan, pemenuhan aspek legalitas status lahan, perizinan usaha, dan pembiayaan” tegas Dimas saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI tahun 2019, sebesar 41% atau 6,72 juta hektar perkebunan kelapa sawit dikelola swadaya oleh petani. Jumlah tersebut naik sekitar 8% dalam kurun dua dekade sejak tahun 2001.

Pada tahun yang sama, Menteri Pertanian RI melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019 menetapkan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah 16,38 juta hektare.

Baca Juga :  Minim Tempat Sampah, Warga Keluhkan Kebersihan Lokasi CFD Pangkalan Bun

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebutkan bahwa total produksi CPO Indonesia pada 2021 mencapai 49,7 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, 38% di antaranya dipasok oleh pekebun swadaya.

Data tersebut menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh masyarakat secara swadaya memiliki peran penting selain yang dikelola oleh korporasi swasta dan Badan Usaha Milik Negara.

Sementara itu, Direktur Program Strengthening Palm Oil Sustainability in Indonesia (SPOS Indonesia) Irfan Bachtiar mengungkapkan diperlukan suatu upaya luar biasa yang didukung pendekatan baru dalam percepatan pencapaian sertifikasi ISPO pada pekebun swadaya.

“Tanpa adanya pendekatan baru dalam pencapaian penerapan praktek budidaya sesuai prinsip Good Agricultural Practices (GAP) dan pengakuannya melalui sertifikasi ISPO, pekebun swadaya menghadapi ancaman terpinggirkan bahkan tersingkir dari rantai pasok sawit Indonesia,” ungkapnya.



Pos terkait