”Anak dan perempuan yang menjadi korban hanya Rp 2 juta saja,” paparnya di Lobi Kantor Bareskrim Selasa (23/7/2024)
Menurutnya, sindikat ini beroperasi di sejumlah kota besar di Indonesia, diantaranya Jakarta, Bali, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Bandung. Sindikat ini mempertemukan korban dan pelanggan di kota yang sama. ”Jadi ini memang sindikat yang besar sekali,” terangnya.
Apalagi, jumlah korban dari sindikat ini mencapai 1.962 orang. Dari jumlah tersebut petugas telah mengidentifikasi terdapat 19 anak yang menjadi korban. ”Tapi, petugas masih melakukan identifikasi, belum selesai ini,” ujarnya.
Proses identifikasi terhadap korban dilakukan dengan mendeteksi identitas dan foto korban. Dia mengatakan, korban yang masuk kategori anak berpotensi bertambah. ”Masih kami cek dari data identitas dan foto-foto korban,” urainya.
Dia mengatakan, dalam sindikat tersebut ditangkap empat orang tersangka, yakni YM, MRP, CA, dan MI. Mereka memiliki peran berbeda dari admin hingga mucikari.
”Untuk MI itu merupakan otak sindikat yang saat ini berstatus narapidana. Dia menjalankan aksinya dari balik sel penjara,” paparnya.
Sementara Plt Asdep Layanan Anak Yang Memerlukan Perlindungan Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Atwirlany Rintonga mengatakan, kasus kekerasan terhadap anak masih menghantui Indonesia.
Salah satu faktor utamanya karena lemahnya pengawasan dari orang tua. ”Ini yang utama,” paparnya.
Perkembangan teknologi yang terjadi saat ini seharusnya membuat orang tua melakukan pengawasan lebih. Komunikasi antara orang tua dengan anak menjadi begitu penting. ”Karena anak sering kali tergiur jalan instan dalam menyelesaikan masalahnya,” ujarnya.
Saat ditanya apakah orang tua potensial terlibat dalam kasus eksploitasi anak semacam ini, dia mengatakan bahwa ironisnya dalam banyak kasus orang tua yang memerintahkan anak terlibat eksploitasi.
”Tapi, untuk kasus ini sejauh apa keterlibatan orang tua tentu perlu didalami,” tegasnya. (idr/jpg)