“Rotan yang tidak dipanen akan terus tumbuh dan menghasilkan lebih banyak. Dengan harga yang saat ini mencapai Rp4.700 per kilogram, potensi rotan masih cukup menjanjikan jika ada dukungan regulasi dari pemerintah,” tambahnya.
Realita di lapangan menunjukkan tren berbeda. Kebun rotan semakin tergeser oleh perkebunan kelapa sawit, terutama di wilayah utara Kotim. Dahlan memperkirakan hanya sekitar 30 persen kebun rotan yang tersisa dibandingkan masa kejayaannya.
“Petani lebih memilih sawit karena hasilnya lebih cepat dan lebih besar, khususnya bagi mereka yang memiliki lahan luas,” jelas Dahlan.
Dahlan berharap pemerintah segera mengeluarkan regulasi yang mendukung kebangkitan sektor rotan, baik melalui dukungan teknis, pembukaan pasar ekspor, maupun insentif bagi para pelaku usaha. Menurutnya, mempertahankan rotan tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan lingkungan.
“Sektor rotan berjalan mandiri tanpa banyak bantuan pemerintah, tetapi dampaknya luar biasa, terutama dalam menyerap tenaga kerja dan meningkatkan ekonomi desa. Jangan biarkan rotan menjadi cerita masa lalu,” pungkasnya.
Kini, nasib rotan di Kotim ada di persimpangan. Di tengah geliat sawit yang menggiurkan, akankah rotan menemukan kembali masa keemasannya? Semua bergantung pada langkah pemerintah dan kesadaran bersama untuk melestarikan salah satu komoditas unggulan daerah ini. (yn/yit)