PANGKALAN BUN, radarsampit.com – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat berupaya meningkatkan peran dan keterlibatan masyarakat dalam pencegahan kekerasan pada perempuan dan anak.
“Pada awal Januari sampai Mei 2023 ada 31 laporan mengenai kekerasan pada anak. Peran aktif seperti ini yang terus kami dorong,” kata Kepala Bidang Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kobar, Mila Susilawati.
Menurutnya untuk mencegah dan menekan terjadinya kekerasan terhadap anak, Bidang Perlindungan Anak DP3AP2KB terus gencar melaksanakan sosialisasi baik kepada pelajar di sekolah, masyarakat, dan juga orang tua.
“Berbagai sosialisasi kita lakukan, baik itu tentang undang-undang perlindungan anak, dan juga berbagai upaya agar masyarakat tidak takut untuk melaporkan pelaku kekerasan terhadap anak,” tegasnya.
Wanita berhijab itu mengatakan, 31 kasus kekerasan terhadap anak tersebut meliputi delapan kasus kekerasan seksual, lima kasus pencabulan, 10 kasus kenakalan remaja, empat kasus kekerasan di sekolah, satu kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) anak dan tiga kasus perebutan hak asuh anak.
Mila juga menegaskan bahwa dari data tersebut, kasus kekerasan pada anak ini tidak hanya terjadi pada lingkungan masyarakat saja, tetapi hal ini bisa juga terjadi di lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. “Lebih disayangkan lagi apabila yang menjadi pelaku kekerasan pada anak itu kerabat dekatnya,” ucapnya.
Pihaknya meminta kepada masyarakat, apabila melihat aksi kekerasan terhadap anak baik itu tetangga, keluarga ataupun orang yang melihat untuk segera melaporkan hal tersebut.
“Masyarakat tidak perlu takut lagi untuk melapor hal tersebut, silakan mengadu. Dengan adanya laporan itulah nantinya akan kita tindaklanjuti. Jangan merasa takut dengan ancaman pelaku kekerasan, tenang kita memiliki rumah aman yang terlindungi, di rumah tersebut nantinya kalian akan merasa aman,” jelasnya.
Tidak hanya itu, ia juga memberikan imbauan kepada masyarakat, untuk tidak mengucilkan mereka yang menjadi korban atau yang mendapatkan tindakan kekerasan di sekolah.