Cholil juga tidak sepakat dengan penyebutan bahwa pencopotan jilbab oleh Paskibraka putri itu dilakukan secara sukarela. Dia mengatakan di satu sisi dikatakan sukarela, tetapi personil Paskibraka diminta tanda tangan di atas materai.
’’Mana ada sukarela, tetapi diminta tanda tangan bermaterai. Ini adalah relasi kuasa,’’ katanya. Dia meyakini jika Paskibraka putri itu tidak teken pernyataan tersebut, tidak akan lolos seleksi. Ataupun kalau lolos, ditempatkan sebagai cadangan. Alias tidak ditugaskan dalam upacara pengibaran maupun penurunan bendera merah putih.
Sorotan juga disuarakan oleh mantan Ketua Umum PBNU sekaligus anggota dewan pengarah BPIP Said Aqil Siroj. Dia menegaskan meskipun sebagai dewan pengarah, tetapi tidak diikutsertakan dalam pengambilan kebijakan teknis mengenai seragam Paskibraka itu.
Dia mengaku menyayangkan polemik tersebut. ’’Kalau kita diminta toleran terhadap perbedaan, kenapa mereka tidak toleran dengan apa yang kita banggakan,’’ katanya. Said mengatakan menggunakan jilbab adalah ajaran agama Islam dan menjadi kebanggaan.
Said mengatakan dengan kebebasan menggunakan seragam oleh Paskibraka, itu justru mencerminkan Bhineka Tunggal Ika. Cerminan itu justru hilang ketika semuanya diseragamkan. Termasuk ketika Paskibraka putri yang berjilbab, harus melepas jilbabnya dengan alasan keseragaman.
Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti ikut merespon pelarangan jilbab untuk anggota Paskibraka. Mu’ti mengatakan, jika benar ada larangan anggota Paskibraka memakai jilbab, maka larangan itu harus dicabut.
Guru besar pendidikan agama Islam UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu menegaskan, pelarangan itu merupakan tindakan diskriminatif. “Yang bertentangan dengan Pancasila, kebebasan beragama, dan hak asasi manusia,” tegas tokoh asal Kudus, Jawa Tengah itu. (wan/lum/jpg)