Menurut Majelis Hakim, tindak pidana korupsi meminta dan menerima dan memotong kas mengakibatkan spiral korupsi. Sebagai pucuk pimpinan, Ben meminta uang kepada kepala dinas. Lalu kepala dinas meminta uang kepada pengusaha, pengusaha mendapatkan proyek dengan cara mengakali prosedur tender dan seterusnya. Pada akhirnya, uang yang berputar pada spiral korupsi tetap uang negara.
”Terdakwa mengelola pemerintahan daerah tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip good goverment yang terdiri dari transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, melainkan menggunakan pendekatan kekeluargaan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Achmad Peten Sili.
Di sisi lain, hal yang meringankan Ben dan Ary Egahny, keduanya belum pernah dihukum. Para terdakwa kooperatif selama proses persidangan. Khusus Ben Brahim, memiliki karya intelektual berupa hak paten yang digunakan dalam proyek kenegaraan dan dapat menghemat pembiayaan negara.
Menyikapi putusan itu, penasihat hukum Ben dan Ary, Regginaldo Sultan mengatakan, pihaknya akan mengambil sikap dalam tujuh hari ke depan untuk menyatakan sikap apakah banding atau menerima. Jika diukur dari pasal yang didakwakan ke kliennya, ancamannya minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun atau seumur hidup.
”Vonis yang dijatuhkan sudah masuk ancaman yang paling minimal. Kami akan pikir-pikir dulu. Pokoknya dalam tujuh hari kami akan menyatakan sikap, banding atau menerima putusan,” tegasnya. (daq/ign)