Pemerintah Kecamatan Cempaga sebelumnya menggelar mediasi antara perusahaan perkebunan PT Borneo Sawit Perdana (BSP) dengan warga sejumlah desa terkait sengketa lahan di Desa Luwuk Bunter Rabu (11/10) lalu.
Ada sejumlah tuntutan yang disampaikan warga agar konflik tersebut tak berkepanjangan dan menjadi bom waktu di kemudian hari. Tuntutan tersebut, di antaranya meminta kejelasan realisasi plasma 20 persen, mendesak perusahaan mengganti tanam tumbuh masyarakat yang digarap, membubarkan Koperasi Mitra Borneo Sejahtera yang bermitra dengan perusahaan, dan mendesak perusahaan memberdayakan tenaga kerja lokal.
Manajer Humas PT BSP Rosi Andreas menegaskan, pihaknya siap merealisasikan tuntutan dan aspirasi masyarakat. Perusahaan sejatinya selalu patuh dan tunduk terhadap hukum dalam berinvestasi.
”Soal tenaga kerja, kami berkeinginan masyarakat menjadi tenaga kerja, tetapi ada kaidah-kaidahnya. Termasuk perekrutan pekerja pabrik ada 280 orang melamar, tapi kami sudah cek dan belum final,” kata Rosi.
Mereka juga berjanji akan memprioritaskan masyarakat lokal bisa bekerja di perusahaan tersebut. ”Lihat saja nanti hasil seleksinya,” kata Rosi.
Selain itu, soal kewajiban plasma 20 persen, pihaknya telah menyediakan lahan 2.200 hektare untuk dijadikan kebun plasma masyarakat. Plasma ini dikelola Koperasi Mitra Borneo Sejahtera (MBS).
Adapun kesepakatan dalam pertemuan tersebut, yakni melakukan inventarisasi ulang melalui tim khusus yang dibentuk pihak desa dan kecamatan. Pengecekan akan dilakukan serta pendataan siapa saja warga yang kebun dan lahannya tergarap.
Selama proses itu, pihak perusahaan sepakat tidak ada aktivitas penanaman maupun penggarapan di lahan masyarakat yang tengah bermasalah. Selain itu, alat berat perusahaan wajib ditarik keluar. (ang/ign)