Suatu ketika, Jakin pernah diundang Majelis Hindu Kaharingan. Dalam upacara penyambutan tersebut, dia diminta menerima air baram (minuman khas lokal).
”Mereka memahami dan meminta saya hanya memegangnya saja tanpa harus meminumnya. Saya terima dan saya apresiasi atas sambutan dan toleransi dari masyarakat Kotim yang beragama Hindu Kaharingan,” katanya.
Dari upacara penyambutan tersebut, Jakin bisa menilai bahwa miras sudah menjadi bagian dari ritual dan tradisi masyarakat Kotim pada agama tertentu.
”Berbeda daerah, berbeda pula penanganannya. Selama saya tugas di Jakarta dan Maluku, tidak ada saya menemukan masyarakat yang menggunakan miras sebagai tradisi. Kalau di Bali setahu saya ada. Sama seperti di Kotim,” ujarnya.
Atas dasar itulah, Polres Kotim tak bisa bekerja sendiri dan perlu kerjasama dengan pihak terkait, mulai dari Pemkab Kotim, kejaksaan, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
”Masyarakat Kotim punya budaya, tradisi, agama, suku yang beragam. Tidak bisa penanganan persoalan miras ditangani sama seperti kasus lainnya. Semua pihak, pemerintah, kejaksaan, harus satu suara bekerjasama menyelesaikan persoalan miras,” ujarnya.
Jakin meminta masyarakat agar tak mengambil kesimpulan sendiri dan menilai aparat bekerjasama dengan pengusaha miras. ”Saya tegaskan, Polres Kotim tidak ada kongkalingkong dengan pihak mereka (pengusaha miras),” ujarnya. (bersambung/ign)