PALANGKA RAYA – Mihing merupakan salah satu benda budaya tradisional masyarakat Kabupaten Gunung Mas yang hampir punah. Menurut Kitab Panaturan Suku Dayak Ngaju (Kitab Suci Hindu Kaharigan), Kata Mihing dari Bahasa Sangiang atau Bahasa Sangen. Mihing berarti semacam alat menangkap ikan yang mengandung daya mistik untuk menarik perhatian ikan-ikan, sehingga datang dan masuk kedalamnya.
Mihing juga merupakan pembawa rejeki, baik di dunia fana dan alam baka. Ada juga yang mengenal Mihing dengan sebutan Mihing Manasa, yang mana kata Manasa berarti; Memasuki. Dengan demikan dapat disimpulkan, Mihing Manasa berarti ; Sebuah alat perangkap utuk masuknya ikan atau sering dikatakan, merupakan benda yang berisi penuh ( panen ) dengan ikan.
“Adapun asal mula adanya Mihing dalam kehidupan Suku Dayak Ngaju di sungai Kahayan, sangat erat dengan legenda Cerita Rangan Mihing yang merujuk kepada seorang Kesatria Dayak yang bernama Bowak dari Desa Tumbag Danau, wilayah Kecamatan Mihing Raya, setelah pemekaran dari wilayah kecamatan Sepang, Kabupaten Gunung Mas. Konon, Bowak sejak kecil hidup dengan salah satu keluarga kaya. Pekerjaanya sehari-hari memelihara babi dari keluarga tersebut. Ia pekerja yang rajin dan tekun, namun pada suatu waktu merasa lelah dan jenuh pada pekerjaanya,” papar Budi Waluyo salah seorang pemandu museum Balanga.
Kemudian lanjutnya, dalam kejenuhanya sambil mengiris batang keladi untuk makanan babinya, ia bersenadung dalam bahasa Sangiang atau sering disebut Mangarungut atau Mandak. Ucapan yang dikeluarkan Bowak waktu itu; “Narai kajarian kea gawi kalutuh, nasang tingang dia bahelat andau, maraga kalawet isen sankelang pandang kalaman”.Artinya; kapan berakhir pekerjan ini, setiap hari memotong daging burung tingang, dan mencincang daging monyet (owa-owa). Padahal sebenarnya yang dipotong dan dicincang oleh Bowak hanya batang dan daun keladi untuk makanan babi tuannya.
“Perkatannya inilah yang terdengar oleh Sangiang (Dewa Langit) di lewu Telo Kalabuan Tingang Rundung Epat Kalehulun Talawang. Sehingga kedengaranya begitu gagah dan berani. Membuat Raja Sangiang tertarik untuk mengutus pesuruhnya Sahawung untuk menjemput Bowak ke lewu Telo( Negeri Para Sangiang/Kayangan) untuk menguji kegagahannya,” sambung Budi.