Di tingkat petani,buah naga dijual seharga Rp 15 ribu per kg. Sedangkan, di pedagang eceran di Kota Sampit, dijual seharga Rp 20-25 ribu per kg. Buah naga hasil panennya dipasarkan ke Kota Sampit hingga Pontianak, Kalimantan Barat. Satu kali pengiriman ke Pontianak bisa mencapai 4-5 ton per dua minggu sekali.
”Kalau posisi bulan ke-12 (Desember) sampai Februari lagi masa panen raya harga anjlok. Hasil panen melimpah. Jual dari saya Rp 8 ribu per kg, bahkan ada yang hanya dijual Rp 5 ribu per kg,” katanya.
Marso menuturkan, mulanya dia tertarik menanam buah naga setelah terinspirasi dari temannya. Dari hasil kebun buah naga yang dirawatnya sepenuh hati, Marso berhasil menyelesaikan pendidikan ketiga orang anaknya. Salah satunya menyelesaikan kuliah S-1 jurusan agribisnis.
Anaknya yang lain masih duduk di bangku SMA dan satunya di Pondok Pesantren Sabilal Muhtadin, Desa Jaya Karet, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan.
Marso merupakan salah satu petani yang terbilang sukses bertahan meski menghadapi kendala gagal panen. Dari kurang lebih 53 hektare lahan di Desa Kandan, ditanami buah naga yang dimiliki sejumlah petani. Namun, tak semua petani mampu bertahan.
”Setelah ada gejolak serangan antraknosa, petani pada gulung tikar.Banyak tak sanggup merawat. Sampai saat ini dari 350 penduduk transmigran ada 50-an petani yang masih aktif. Kalau tidak sabar dan tidak telaten merawat, sulit untuk bisa bertahan,” tandasnya. (***/ign)