Dia menambahkan, pasien bergejala, tapi tidak mengalami sesak napas, juga diperbolehkan isoman. ”Anda tidak diperbolehkan isoman kalau sesak napas. Tolong dihitung frekuensi napasnya dalam 1 menit, berapa tarikan napas,’’ kata Erlina dalam webinar Isolasi Mandiri Pasien Covid-19 pada Jumat (2/7). Jika dalam 1 menit ada lebih dari 24 kali tarikan napas, lanjut dia, pasien mengalami sesak napas. Itu tandanya, pasien tidak boleh isoman dan harus segera ke faskes. Bisa ke puskesmas atau RS.
Jika ingin lebih valid, pengukuran saturasi oksigen yang menjadi indikasi awal sesak napas atau tidak bisa menggunakan oksimeter. Apabila saturasi oksigen kurang dari 94 persen, pasien harus segera ke faskes. ”Tapi sekarang RS luar biasa penuhnya. Saya kira manfaatkanlah puskesmas sebagai perpanjangan tangan RS,’’ imbuh dokter spesialis yang juga juru bicara Satgas Covid-19 PB IDI itu.
Isoman atau home treatment, menurut Erlina, juga harus dilakukan oleh mereka yang terlibat kontak erat dengan pasien Covid-19. Itu juga berlaku meskipun si pasien tidak bergejala atau tidak sesak napas. Isoman akan menjadi mekanisme efektif untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Agar home treatment maksimal, pasien perlu memperhatikan beberapa poin penting. Salah satunya, ketersediaan ruang isolasi yang terpisah dari ruangan-ruangan lain di dalam rumah. Hal penting berikutnya adalah penghuni rumah. Sebaiknya, pasien tidak serumah dengan kelompok risiko tinggi. Yakni, bayi, lansia, orang yang sistem imunnya rendah, dan orang dengan komorbiditas atau penyakit penyerta. Misalnya, diabetes, hipertensi, dan jantung.
”(Kalau ada poin tersebut, Red) sebaiknya jangan isoman di rumah. Segera kontak faskes,’’ terang Erlina. Apabila gejala yang dialami ringan, RS akan mengirim pasien ke tempat karantina milik pemerintah. (tyo/dee/c13/hep/yit)