Penanganan Kesehatan Mental Buruk, Gantung Diri Marak

gantung
Ilustrasi. (M Faisal/Radar Sampit)

PALANGKA RAYA – Kasus bunuh diri marak terjadi di Kalimantan Tengah (Kalteng) pekan lalu. Kejadian itu memperlihatkan masih buruknya penanganan kesehatan mental di tengah masyarakat. Peran pemerintah diperlukan dengan memperbanyak fasilitas konsultasi masalah kejiwaan yang mudah diakses.

Peristiwa gantung diri di Kalteng terjadi sebanyak tiga kali di tiga daerah berbeda pekan lalu. Pertama di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) yang dilakukan Endo (25), pemuda Dusun Baninan, Desa Rubung Buyung, Kecamatan Cempaga. Dia mengakhiri hidupnya di kebun karet. Diduga Endo mengambil keputusan itu lantaran sakit hati setelah putus cinta dengan kekasihnya.

Bacaan Lainnya

Sehari setelahnya, seorang istri di Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas (Gumas), MW (32), ditemukan tewas gantung diri oleh suaminya di rumah. Informasi dari kepolisian menyebutkan, MW nekat gantung diri karena beban pekerjaan yang terlalu berat.

Baca Juga :  TRAGIS!!! Bunuh Diri karena Cemburu dengan Istri

Kemudian, peristiwa yang sama terulang di Palangka Raya. Ryan Mashudi (19), ditemukan tewas tergantung di WC umum Jalan Pangeran Samudera II. Belum diketahui penyebab pasti aksi nekat itu dilakukan Ryan. Pemuda itu dikenal sebagai orang yang tertutup. Jika ada masalah, tidak bercerita pada siapa pun, termasuk keluarganya.

Psikolog Klinis Rumah Sakit Jiwa Kalawa Atei Palangka Raya, Fakhrisina Amalia Rovieq, mengatakan, bunuh diri bisa terjadi saat individu sudah tidak bisa lagi mengendalikan perasaan putus asa ketika menghadapi permasalahan. Diperlukan pendekatan keluarga dan agama agar peristiwa itu bisa dicegah.

Menurutnya, banyak faktor yang bisa memengaruhi seseorang nekat mengakhiri hidupnya. Di antaranya, bawaan, lingkungan, pola asuh, dan tekanan. Mental psikologis seseorang bisa tertekan hingga mengalami gangguan kejiwaan berupa depresi.

”Biasanya orang-orang yang bunuh diri mengalami episode depresi, yang ditandai dengan berkurangnya minat terhadap aktivitas yang disenangi, menurunnya produktivitas, hingga paling parah munculnya perasaan tidak berharga yang memicu pikiran mengakhiri hidup,” ujarnya.



Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *