Pada dimensi lebih luas, dalam kepungan utilitarianisme ini manajemen lingkungan hidup terjebak dalam suatu paradoksal atau anomali. Di satu sisi manajemen lingkungan hidup berusaha menekan kerusakan lingkungan hidup, namun pada sisi lain keserakahan umat tetap dibiarkan, bahkan di legitimasi. Lebih dari itu, fokus perhatian para pelaksana lebih berat pada aspek konkret. Tepatnya adalah aspek atau dimensi managerial dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam kedudukannya sebagai pelindung masyarakat, pemerintah seharusnya memiliki konsep paradigma berpikir yang sarat dengan idealisme peduli lingkungan. Refleksi pemikiran tersebut dengan dibentuknya regulasi yang tepat dan mencerminkan kebijakan berwawasan lingkungan. Regulasi yang demikian akan menjadi penyelamat korelasi antara manusia dan lingkungan yang manfaatnya akan kembali juga pada masyarakat itu sendiri.
Selain itu ketentuan dalam UUPPLH mengenai keharusan sertifikasi kompetensi penyusun AMDAL serta dibentuknya Komisi Penilai AMDAL oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota yang terdiri dari berbagai unsur baik dari instansi terkait, para pakar sesuai keahlian di bidangnya, wakil dari masyarakat dan organisasi lingkungan hidup sebagai perwujudan asas kehati-hatian dan asas tata kelola pemerintahan yang baik yang dijiwai prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan keadilan.
Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sudah cukup memadai. Namun didalam pelaksanaannya, khususnya dalam perijinan lingkungan hidup perlu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh. Selain dari kompleksitasnya perijinan baik yang menjadi kewenangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah serta tumpang tindihnya berbagai peraturan perijinan berusaha, tetapi dari aspek moralitas juga menjadi acuan dasar dalam menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup. (bersambung)