Akibat perubahan sepihak oleh Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan tersebut daerah dan pengusaha perkebunan kelapa sawit dirugikan, karena banyak lokasi perkebunan sawit menjadi kawasan hutan (HP) bila berdasarkan TGHK tersebut, dan diminta untuk mengurus pelepasan kawasan hutan, padahal asalnya tidak memerlukan pelepasan kawasan. Akibatnya menurut pendapat saya dalam hukum menimbulkan konplik norma antara daerah dan pusat.
Namun pemerintah daerah bagainanapun harus taat mengikuti sikap pusat tersebut, sehingga untuk menyesuaikan RTRWP Kalimantan Tengah dengan kemauan pusat atau mengacu pada TGHK maka lahirlah PERDA No. 5 tahun 2015 tentang RTRWP Kalimantan Tengah. Kondisi ini terjadi karena otonomi daerah masih belum sepenuhnya atau dikenal dengan istilah otonomi setengah hati.
Konflik norma tersebut juga menimbulkan masalah bagi perkebunan kelapa sawit dilapangan yg sudah terlanjur beroperasi karena menggunakan kebijakan atau ketentuan lama, kemudian lokasi yg mereka garap berubah statusnya menjadi HP, HPK yg sebelumnya tidak bermasalah dan/atau status APL menurut Perda No.8 tahun 2003 tentang RTRWP Kalimantan tengah, dan juga mengacu pada surat Kementerian kehutanan tahun 2000.
Hal tersebut menimbulkan polimik sulit pihak PBS untuk mengurus pelepasan kawasan khususnya kawasan HP sulit di penuhi karena harus melakukan tukar guling dan/atau lahan pengganti dengan lahan APL atau HPK dengan luas yang sama untuk nantinya lahan penggati tersebut dilakukan reboisasi atau menghutankan kembali kawasan pengganti tersebut, ibaratnya seperti jeruk minum jeruk.
Rumitnya permasalahan tersebut akhirnya PBS dituding menggarap lahan HP oleh pihak LSM atau lainnya padahal hal tersebut disebabkan oleh konplik norma antara pusat dan daerah sehingga seakan perkebunan sawit di beri stigma perusak atau penggudul hutan, padahal sebelum kehadiran investasi Perkebunan Sawit sudah ada sektor lain yg melakukan kegitan eksploitasi hutan baik legal (resmi) maupun ilegal logging (penebang liar).