”Itu akan dihitung KLHK. Mereka beruntungnya ada UU Cipta Kerja saja. Seandainya itu tidak ada, bisa dijerat pidana kehutanan sebagaimana UU 41 Tahun 1999,” kata dia.
Rodi menambahkan, persoalan itu berawal dari terbitnya IUPHKm di areal sawit PT WYKI. Lahan itu awalnya seluas 1.600 hektare. Namun, oleh perusahaan diserahkan separuhnya untuk dijadikan plasma seluas 800 hektare.
Dalam perjalanannya, KLHK menerbitkan IUPHKm atas nama Koperasi Cempaga Perkasa di areal inti milik PT WYKI. Di lokasi itu terdapat kantor besar, mes karyawan serta fasilitas perusahaan. Termasuk tanaman kelapa sawit. ”Kegiatan itu sudah berlangsung lama. Akhirnya menjadi polemik,” katanya.
Rodi melanjutkan, ada tiga opsi penyelesaian sengketa dengan koperasi, yakni berdasarkan UU Cipta Kerja, PP 24 Tahun 2021, dan Permen LHK Tahun 2020. Ada pilihan, di antaranya historis perizinan. Artinya, siapa yang lebih dulu mengantongi izin di areal tersebut.
Kedua, areal itu bisa dikerjasamakan dengan Koperasi Cempaga Perkasa sebagai pemegang IUPHKm. Alternatif ini merupakan yang terbaik untuk penyelesaian polemik perusahaan dan masyarakat tersebut. Ketiga, juga bisa dilakukan enclave dari areal PT WYKI untuk areal yang kini tengah bermasalah dengan IUPHKm koperasi tersebut.
”Tapi, untuk kerja sama itu dibicarakan lebih lanjut. Perusahaan meminta waktu satu minggu untuk berkomunikasi dengan manajemen di Jakarta. Kita tunggu hasil dari Jakarta. Manajemen pusat akhirnya yang memutuskan,” tandasnya. (ang/ign)