Dia menegaskan, PDAM jangan sampai melupakan rohnya sebagai fungsi sosial. Sebab, PDAM menjalankan dua fungsi, yakni sisi bisnis dan sosial. ”Makanya pemerintah menyubsidi melalui penyertaan modal,” jelasnya.
Lebih lanjut Jhon mengatakan, masyarakat berharap ketika DPRD memanggil manajemen PDAM, kenaikan tarif tersebut bisa dianulir. Akan tetapi, RDP tersebut justru hanya rekomendasi agar tarif baru dievaluasi lagi, tanpa ada penegasan agar dibatalkan.
”Paling lucu justru mendorong tarif itu disosialisasi. Seolah-oleh DPRD melegitimasi kebijakan tersebut dan melupakan posisinya mewakili rakyat,” ujarnya.
Jhon sendiri mengaku terimbas tarif baru itu. Biasanya dia membayar tagihan air setiap bulan hanya sekitar Rp 1,2 juta. Namun, bulan ini tagihannya membengkak hingga sekitar Rp 3 juta.
”Artinya, kenaikan itu memang terjadi. Jadi, jangan diputar balik bahasanya dengan penyesuaian tarif dan lain sebagainya. Faktanya memang naik,” tegasnya.
Jhon menilai, kebijakan itu berpotensi merugikan pasangan Halikinnor-Irawati dari sisi politik, karena di awal jabatan sudah menaikkan tarif PDAM yang menjadi urusan wajib pemerintah untuk menyediakan air bersih.
Kekecewaan pada DPRD Kotim juga disampaikan Muhammad Shaleh, mantan Ketua Komisi IV DPRD Kotim. Menurutnya, rencana kenaikan tarif PDAM itu memang sudah bergulir sejak dia menjabak di Komisi IV periode 2014-2019. Namun, pihaknya selalu menolak, karena kondisi ekonomi dan alasan kenaikan yang masih belum mendesak.
”Yang jelas, dengan kondisi sekarang, seakan DPRD mendukung kebijakan menaikkan tarif, sementara mereka lupa bahwa mereka adalah penyeimbang pemerintahan yang tidak harus selalu mendukung kebijakan. Apalagi soal kenaikan tarif ini,” ujarnya.
Sementara itu, Irman, warga di Baamang juga kecewa pada hasil RDP di DPRD Kotim yang tidak ada hasil sama sekali. Bahkan, lanjutnya, sejumlah kelompok warga mulai menggalang dukungan untuk melakukan aksi menolak kenaikan tarif PDAM.
Dia sempat berharap banyak pada DPRD Kotim untuk menyuarakan penolakan kenaikan tarif itu. ”Rapat itu tidak punya efek, padahal kami berharap kenaikan itu dibatalkan, bukan justru disosialisasikan. Artinya, dewan setuju kenaikan itu. Maka itu kami tidak bisa berharap lagi kepada dewan,” ujarnya. (ang/ign)