SAMPIT – Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) Kabupaten Kotawaringin timur memiliki standar dalam pengurusan dan penerbitan sertifikat tanah. Sesuai standar operasional prosedur (SOP), proses pengurusan tanah hingga penerbitan sertifikat tanah memerlukan waktu selama 90 hari atau tiga bulan. Namun, fakta di lapangan pengurusan sertifikat membutuhkan waktu selama berbulan-bulan hingga tahunan.
”Normalnya itu sesuai aturan 90 hari selesai asalkan prosesnya berjalan lancar dan syaratnya terpenuhi lengkap. Persoalannya, masyarakat yang mengurus penerbitan sertifikat banyak yang bersengketa. Walaupun persentasenya hanya 5 persen dari seluruh masyarakat. Namun, ini menjadi kendala dalam hal prosesnya,” kata Kepala BPN Kotim Jhonsen Ginting, Rabu (22/9).
Kendala itu dapat terjadi apabila lahan milik pemohon ditemukan bermasalah. Misalkan, terjadinya saling klaim, penguasaan tanah yang bergeser, tahun berbeda, persoalan sengketa batas, tumpang tindih tanah, dan ada pemohon yang tak menyadari tanahnya sudah bersertifikat.
”Ada pemohon yang mau mengurus sertifikat tanah, ternyata saat dilakukan pemeriksaan BPN, tanahnya sudah bersertifikat dan tidak diketahui pemohon. Bisa jadi orang tuanya yang terdahulu lebih mengetahui, makanya diperlukan penyelesaian lebih lanjut dengan mengumpulkan para saksi untuk mencari kekuatan dari pemilik tanah yang sebenarnya (asli),” katanya.
Dalam penyelesaian persoalan sengketa, BPN Kotim umumnya melakukan langkah mediasi dengan mengundang saksi, pihak terkait seperti, RT setempat letak tanah yang bersangkutan, lurah, dan pihak terkait lainnya.
”Semua pihak diundang, terutama lurah di lokasi tanah itu berada, karena dasar dokumen surat keterangan tanah (SKT) diketahui lurah. Kalau tidak ketemu jalan keluarnya, kami tawarkan untuk melalui jalur hukum untuk penyelesaian kasusnya,” ujarnya.
Menurutnya, persoalan tanah umumnya terjadi di kawasan perkotaan. Namun, ada pula yang terjadi di perdesaan. ”Paling kasus tumpang tindih tanah yang bersengketa rata-rata terjadi di wilayah perkotaan, karena pengaruh nilai ekonomi di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di desa, sehingga muncul persoalan tumpang tindih tanah, saling mengakui tanahnya masing-masing,” ujarnya.